Mengelola Sengketa Perbatasan di Asia Tenggara:
Apakah Ada yang Lebih dari Laut Cina Selatan?
Satryo Sasono,
Abstrak
Konflik
di Laut Cina Selatan menjadi perdebatan mengenai bagaimana keamanan Asia
Tenggara dan secara khusus membahas sejauh apa pengelolaan sengketa perbatasan
yang dikelola di wilayah tersebut. Namun,
kasus ini bukanlah menjadi contoh bagi negara-negara Asia Tenggara seputar cara
menangani sengketa teritorial secara umum. Artikel
ini mengumpulkan tiga persepsi secara umum tentang manajemen konflik yang begitu
diutarakan tentang Kasus Laut Selatan Cina, tetapi memiliki relevansi yang
lebih rendah ketika melihat konflik perbatasan lainnya dalam kawasan tersebut.
Saya menawarkan sumber bacaan kritis tentang siapa, mengapa, dan bagaimana
pengelolaan konflik teritorial dan memberikan pedoman tentatif tentang apa yang
diharapkan di masa depan.
Kata Kunci : Asia Tenggara, ASEAN, Konflik Perbatasan, Penyelesaian Sengketa
A.
Pendahuluan
Beberapa
tahun terakhir, sengketa yang terjadi di Laut Cina Selatan telah meningkatkan ketertarikan
yang tinggi terhadap konflik teritorial terhadap fitur-fitur daratan dan kawasan
maritim Asia-Pasifik. "Industri rumahan" (Klintworth 1994: 211) yang
berkembang di sekitar kebangkitan Cina cenderung menjadi sebab banyaknya kasus sengketa
teritorial lainnya di wilayah tersebut. Melihat
kasus Laut Cina Selatan, artikel ini menunjukkan, kasus-kasus perselisihan lain
yang terjadi menjadi sebuah kesalahpahaman. Laut Cina Selatan masih jauh dari
kasus biasa dan karena itu gagal memberikan perbandingan langsung dengan
sengketa teritorial lainnya di kawasan tersebut.
Karakteristik
mengenai konflik Laut Cina Selatan telah dikenal luas. Konflik tersebut
melibatkan serangkaian selisih permasalahan mengenai siapa yang berhak atas
pulau tersebut dan wilayah laut diantara keduanya dan terkadang melibatkan
banyak negara (lihat Hayton: 2014). Bersamaan, setidaknya terdapat enam pihak
yang terlibat langung didalamnya : Cina (RRT) yang mengeklaim bahwa wilayahnya
merupakan yang terbesar menurut sembilan garis dash-line nya yang terkenal;
Taiwan; serta empat negara yang ada dikawasan Asia Tenggara yakni Brunei
Darussalam, Filipina, Malaysia, dan Vietnam yang merupakan bagian dari
negara-negara di Kawasan ASEAN. Negara anggota ASEAN yang kelima, Indonesia,
yang juga mengklaim bahwa Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) mereka mengalami garis
tumpang tindih dengan dash-line yang diterapkan oleh Cina daratan. Namun,
Indonesia hanya mengambil tindakan seminimal mungkin dan menjadi perantara penengah
yang jujur dalam perselisihan tersebut. Jelas karena ZEE merupakan zona
yurisdiksi dan bukan kedaulatan, mereka yang berwenang lebih pada mengambil
posisi bersembunyi dengan dalih bahwa mereka bukan menjadi pihak yang turut
andil dalam persengketaan, sebuah posisi dimana yang mulai diulang kembali dan
dengan kehati-hatian yang tinggi. (Supriyanto: 2016)
Selain
banyaknya pihak dalam sengketa, masalah Laut Cina Selatan semakin rumit melihat
fakta turut melibatkan Cina (RRT), yang memiliki kekuatan dominan di kawasan
tersebut, sehingga menimbulkan pertaruhan penting bagi Amerika Serikat dalam
sengketa tersebut. Meskipun kasus ini bukanlah menjadi simbol dari sekian
banyak sengketa perbatasan lainnya di kawasan ini, namun resiko akan
kekhawatiran yang kuat akan anggapan tentang bagaimana manajemen pengelolaan
sengketa di kawasan Asia Tenggara. Lebih lagi, ketidaksepakatan atas Laut Cina
Selatan terkadang kurang dipahami. Analisis superfisial terlihat tidak banyak
membantu dalam memahami bagaimana kasus yang serupa telah dikelola di suatu
tempat dalam kawasan ini.
Artikel
ini menawarkan sebuah pembahasan kritis mengenai klaim atas upaya manajemen
penyelesaian sengketa di kawasan Asia Tenggara. Hal ini banyak dijumpai di
platform media juga proses akademik dikelola dimana diketemukan sebuah
kesalahpahaman akan persepsi yang lolos dari pengawasan yang cukup ketat.
Jumlah studi yang dilakukan mengenai penanganan konflik perbatasan yang terjadi
secara sistematis di Asia Tenggara juga sangat sedikit, meskipun fakta bahwa
permasalahan teritorial telah mengambil peran penting di kawasan ini.
Kemungkinan karena rendahnya tingkat kejelasan publik secara umum terhadap
sengketa wilayah ini menarik minat ilmiah yang sporadis, kasus yang spesifik,
dan sering bersifat deskriptif.
Secara
objektif tujuan dari diskusi ini bukan dalam ranah untuk menangkal narasi yang
dominan; pada kenyataannya, beberapa proposisi yang dikembangkan di sini tidak
berkontradiksi dengan klaim yang saya ajukan. Sebaliknya, artikel tersebut
berkontribusi pada debat dengan segala detail yang menyulitkan pembaca dan oleh
karenanya mengarahkan pada sebuah perbedaan kesimpulan yang radikal. Selain
itu, saya menemukan sebuah titik balik yang karena berbagai alasan, kurang
mendapat perhatian dalam literatur. Untuk lebih jelasnya, artikel ini
menawarkan sedikit cara untuk menjelaskan perdebatan di Laut Cina Selatan.
Sebaliknya untuk tujuan dalam penelitian ini, saya menggunakan sebuah kasus
untuk menunjukkan bagaimana persepsi atas manajemen penyelesaian sengketa
Internasional di Asia Tenggara telah bias terhadap tantangan yang sedikit luar
biasa di Laut Cina Selatan, dan untuk menyoroti pula bagaimana kasus lain yang
berbeda.
Klaim
atas individu yang dibahas berurutan dalam artikel ini dikelompokkan atas tiga
posisi luas yang membahas siapa, kenapa, dan
bagaimana sengketa teritorial dan
pengelolaannya di Asia Tenggara. Posisi pertama, pada siapa dalam pengelolaan sengketa tersebut, cenderung
melebih-lebihkan peran pihak ketiga, khususnya peran penjamin keamanan
eksternal dan ASEAN (Kivimäki 2001; Buzan and Wæver 2003: 144–171). Pada posisi
kedua, menyatakan bahwa pertanyaan mengapa
pada perselisihan ini dapat dijawab dengan mengacu pada sikap kebijakan
luar negeri yang agresif, terutama dalam situasi ketidakstabilan domestik
(Blanchard: 2003). Persepsi ketiga, condong ke ekstrim lainnya. Seperangkat
argumen pada pertanyaan bagaimana sengketa
telah dikelola pada posisi bahwa Asia Tenggara telah mengembangkan cara
tertentu untuk mengatasi konflik. Oleh karena itu, nilai-nilai Asia yang di
ilhami kedalam “ASEAN Way” telah ditandai oleh sikap anti-legalis dan cenderung
untuk dihindari, daripada menyelesaikan konflik (Busse:1999; Acharya: 2001).
Sebelum membahas tiga posisi tersebut, bagian selanjutnya dimulai dengan
tinjauan umum mengenai sengketa teritorial di wilayah tersebut.
Sengketa Perbatasan Asia Tenggara
Bagian
terbesar dari perbatasan kontemporer Asia Tenggara berasal dari zaman
Kekaisaran Eropa. Dimana batas-batas yang ada sebelumnya tidak begitu pasti,
pemukim Eropa menarik garis batas untuk menghentikan pergerakan musuh mereka.
Inggris datang untuk mendominasi bagian barat wilayah tersebut, yang terdiri
dari Myanmar kontemporer (Burma), Malaysia, dan Singapura. Di Timur, Perancis
menduduki negara-negara kawasan semenanjung seperti Laos, Vietnam, dan Kamboja.
Belanda mengeklaim pulau-pulau di Indonesia, dan negara Filipina pertama kali
dijajah oleh Spanyol dan kemudian dikuasai oleh Amerika Serikat. Hanya Thailand
yang dapat mempertahankan kemerdekaan berkat posisi geografisnya sebagai zona
penyangga antara Inggris dan Perancis. Dalam istilah nyata, otonomi Siam,
demikian sebutan Thailand, sangat dikompromikan dan pengaruh Eropa pada
perluasan teritorial dan konsepsi kuat wilayahnya. (Thongchai Winichakul:
1994).
Ketika negara-negara Asia Tenggara
memperoleh kemerdekaan pasca Perang Dunia ke-II, batas-batas administrasi
kolonial menjadi perbatasan internasional yang baru. Bagaimanapun, seiring
dengan keberadaan negara baru, muncul sejumlah besar klaim atas wilayah yang
ada, meski akan lebih sering lagi dijumpai beberapa tahun kemudian. Batas-batas
yang tersisa dari zaman peninggalan kolonial begitu ambigu dan/atau tidak jelas
batasnya, atau sama sekali tidak pernah ditetapkan. Kebijakan yang diambil pada
masa kolonial lebih banyak pada segi maritim, mengingat bahwa rezim hukum laut
kontemporer berkembang secara signifikan hanya pada paruh kedua abad ke-20.
Meskipun mengalami kesulitan, hanya terdapat tiga perubahan yang signifikan
dalam tatanan wilayah perbatasan sejak kemerdekaan: pada 1965, ketika Singapura
berpisah dari Malaysia; pada tahun 1975, dengan bersatunya Vietnam Utara dan
Selatan; dan pada tahun 2002, ketika Indonesia mengakhiri pendudukannya atas
Timor-Leste sejak 1975 lalu, sembilan hari setelah pemberian kemerdekaan dari
Portugal.
Selama
perang dingin terjadi, sulit untuk menentukan perbatasan bagi negara yang baru
merdeka karena adanya perang di semenanjung Asia Tenggara. Terdapat satu pihak
di antara negara-negara di Asia Tenggara yang merupakan lawan dari negara
adidaya. Tidak ada upaya lebih lanjut untuk bernegosiasi mengenai klaim
wilayah. Pada kelompok komunis, Laos dan Vietnam menyelesaikan beberapa
perselisihan melalui perjanjian yang ditandatangani pada Juli 1977. Dalam
perjanjian tersebut, menjelaskan tentang pengembalian wilayah Laos yang dahulu
dipakai Vietnam Utara untuk Ho Chi Minh dalam memperjuangkan kemerdekaan. (Le
Thai Hoang 2007:11). Akta perjanjian tersebut tidak publikasikan sampai tahun
1986 sehingga menimbulkan kecurigaan bahwa pemerintah Laos dengan Hanoi telah
terikat pada perjanjian yang buruk. Namun menurut jurnal Inggris “perjanjian
dan pembatasan wilayah tidak merugikan Laos apabila Laos tidak menyerah secara
substansial mengenai wilayahnya” (Amer dan Hong Thao 2005:432). Sejak Maret
2016, pemberian tanda batasan sebanyak 1002 marka perbatasan Laos Vietnam telah
dianggap selesai.
Di sepanjang perbatasan Vietnam
dengan Kamboja hampir tidak ada kemajuan mengenai penyelesaian perselisihan.
Selama masa itu, Pol Pot dan Khmer Merah memerintah di Phnom Penh, sehingga
upaya Hanoi untuk mencapai perjanjian yang mirip dengan perjanjian Laos
dialihkan dengan menyerbu Kamboja (Heder 1979). Hanoi menyimpulkan perjanjian
tentang prinsip penyelesaian sengketa perbatasan (1983), perjanjian sejarah
perairan (1982) dan perjanjian tentang pembatasan (1985) dengan yang baru yaitu
Pemerintah Republik Rakyat Kampuchea (PRK). Seluruh perjanjian tersebut
diperdebatkan dengan sengit. Pada tahun 1996, Raja Sihanouk dan mantan perdana
menteri Kamboja Norodom Ranariddh secara terbuka menyatakan ketentuan tersebut
batal demi hukum. Pada beberapa saat, adanya protes yang menuntun pembatalan
tersebut telah berubah menjadi kekerasan hingga tahun 2015 (straits times 2015).
Untuk memahami oposisi, masalah perbatasan perlu ditempatkan pada sejarah
konteks politik Kamboja dan sentiment anti-Vietnam (Thayer 2012). Elit yang
berkuasa saat ini sebagian besar masih sama dengan tokoh yang di meja negosiasi
ketika perjanjian perbatasan dibuat, dengan ketidakpuasan yang meningkat
diiringi ironi kapitalisme. Selama beberapa tahun terakhir hal tersebut telah
mengubah perbatasan dengan salah satu bagian program utama untuk oposisi
politik yang terorganisir lemah.
Sehubungan dengan ketentuan
individual dari perjanjian yang ada, beberapa studi independen menyimpulkan
bahwa perjanjian dari 1980-an sesuai dengan praktik standar dalam hukum
internasional. Mengenai kerangka perjanjian kerja tentang batas laut, menuai
kritik yang cukup banyak berdasarkan studi rinci, dicatat bahwa “pengamat tidak
dipedulikan mengenai pertanyaan apa yang sebenarnya telah diselesaikan”
(Farrell 1992:335). Di perbatasan darat, perbandingan antara koordinat
geografis perjanjian 1985 dan peta yang digunakan kedua belah pihak menunjukkan
bahwa “sangat sedikit dan sangat kecil perubahan yang dilakukan di perbatasan
lama” (Vickery 2011: 40-42). Namun menginngat sensitivitas politik yang
berlaku, kedua negara masih belum dapat menyelesaikan masalah yang tertunda
pada wilayah perbatasan, yang semula ditargetkan pada tahun 2012. Sementara,
kelompok komunis hanya mencapai kemajuan kecil dalam menyelesaikan perbatasan
mereka. Selama perang dingin negara non-komunis Asia Tenggara yang disejajarkan
dengan Barat menunda perundingan batas wilayah yang hampir selesai. Mereka
merasa bahwa dalam menghadapi masalah yang sangat mendesak diperlukan kerja
sama. Sedangkan potensi konflik klaim wilayah yang tumpang tindih terlalu
berisiko untuk dibicarakan secara terbuka. Menjelang pertengahan 1960-an,
asosiasi regional dipandang sebagai pilihan terbaik untuk mempertahankan gelar
otonomi sambil memastikan keterlibatan berkelanjutan Amerika Serikat yang
menentang kemajuan komunis di Asia Tenggara. Ini adalah salah satu dari ASEAN
yang menceritakan kisah sukses ditangguhkanmnya konflik Filipina dan Malaysia
atas negara Melayu Sabah karena untuk pertahanan ASEAN agar tidak seperti
pendahulunya yaitu Asosiasi Asia Tenggara (ASA), yang telah ditutup oleh
Filipina dengan mengklaim Sabah (Turnbull 1992: 615-617). Meski Filipina belum
aktif mewujudkan klaim mereka, namun masalah ini telah menyebabkan iritasi baru
di tahun 2013 yang disebut insiden Lahad Datu dan belum terselesaikan.
Contoh lain yang serupa adalah
penyelesaian perbatasan yang tertunda di Indonesia. Selama perang dingin,
Indonesia membuat perjanjian batas laut dengan dua dari lima negara tetangganya
di Asia Tengara yaitu Thailand (1971), dan Malaysia (1969 dan 1970) hanya
karena hal tersebut dipandang penting untuk mencapai pengakuan internasional
mengenai statusnya sebagai negara kepulauan (Jagal 2009). Diluar yang Indonesia
lihat pembahasan tersebut ditunda agar tidak mengancam kerja ASEAN.
Setelah perang dingin berakhir dan
perjanjian perdamaian Paris 1991 menyambut dengan resmi penarikan Vietnam dari
Kamboja dan ASEAN disambut empat anggota baru: Vietnam (1995), Laos (1997),
Myanmar (1997), dan Kamboja (1999). Vietnam adalah negara pertama pembuat
kemajuan yang signifikan dalam batas-batas lautnya (Amer dan Hong Thao: 2005).
Sebagai mantan direktur divisi urusan politik di Jakarta Departemen ASEAN di
kementrian luar negeri menjelaskan, “dengan semua pertemuan ASEAN ini sekarang
mudah bagi kami berbicara dengan seliuruh negara di kawasan Asia Tenggera dan
kami sudah siap menyelesaikan masalah perbatasan.” Thailand yang telah memulai
kebijakan pemulihan hubungan dengan negara Indonesia di bawah perdana menteri
Chatichai Choonhavan (1986-1991), mendirikan perbatasan bersama komisi Laos,
Myanmar, dan Kamboja, di Malaysia juga dibuat sebuah kelompoj kerja yang
serupa. Kemajuan di antara anggota Asean: Mahkamah International (ICJ)
memutuskan perselisihan territorial antara Indonesia dan Malaysia tentang pulau
Sipadan dan Ligitan (2002), antara Malaysia dan Singapura dengan tiga maritime
fitur pedra branca atau batu puteh, middle rock dan south ledge (2008), dan
antara Kamboja dan Thailand (2013) atas interpretasi penilaian sebelumnya dari
ICJ atas kepemilikan kuil Preah Vihear dari tahun 1962.
Meskipun
demikian, semua negara dari Asia Tenggara masih menunggu resolusi dari konflik
territorial dengan satu tetangga mereka.
Jumlah perselisihan yang tersisa tidak dapat dipastikan dan juga tidak
semua perselisihan yang ada belum diungkap secara terbuka. Hal tersebut harus
diingat ketika menggunakan basis data sengkeya territorial (Huth 1996; Huth dan
Allee 2002; Hensel et al 2008), terutama bila berkaitan dengan daratan Asia
Tenggara yang mana beberapa negara belum mengakui adanya interpretasi yang
saling bertentangan dengan perbatasan mereka. Oleh sebab itu sengketa
territorial cenderung tetap menjadi agenda politik setidaknya dalam jangka
nmenengah. Selanjutnya akan dibahas siapa dalang konflik territorial khususnya
pihak ketiga. Penulis mulai dengan membuat sketsa asumsi dominan tentang
sengketa laut cina selatan sebelum membahasnya dengan pertimbangan perselisihan
intraregional bilateral Asia Tenggara. Pada tiap bagian menunjukkan klaim yang
berdasarkan cina selatan yag tidak mudah diterapkan pada sengketa wilayah lain.
Klaim yang terpilih cenderung meningkatkan presepsi yang salah mengenai
sengketa wilayah di Asia Tenggara.
Siapa? Peran keamanan eksternal yang berlebihan
penjaminnya dan ASEAN
Masalah wilayah
dikenal sebagai yang paling kontroversial di politik dunia internasional.
Probabilitas bahwa masalah perbatasan akan meingkat menjadi konflik bersenjata
tergantung pada kepentingan strategis, ekonomi, dan simbolisnya. Meskipun
demikian, banyak peneliitian yang menunjukkan bahwa perselisihan territorial
memiliki risiko inheren antar negara dengan kekerasan (Senese 2005;Hensel et al
2008). Walaupun Asia Tenggara sering mengalami pertengkaran territorial,
wilayah tersebut hanya mengalami dua perang yang mengubah perbatasan
internasionalnya yaitu: perang yang mempersatukan Vietnam, dan pendudukan
Indonesia atas Timor Leste. Keduanya terjadi pada tahun yang sama yaitu tahun
1975.
Kedua peristiwa
tersebut sangat dipengaruhi oleh sistem bipolar dari perang dingin dan
keterlibatan langsung para protagonisna. Selain dua perang itu, terdapat perang
yang membentuk negara dan Asia Tenggara berhasil menyelesaikan sengketa antar
negara yang terlibat konflik bersenjata. Terdapat dua penjelasan umun mengenai
hal itu: tidak adanya perang antar negara utama yang memiliki kekuatan besar
dan adanya ASEAN. Referansi lain mengatakan adanya mitigasi dalam konflik namun
tampaknya didasarkan pada pengalaman laut cina selatan dan pendapat tersebut
kurang relevan. Penulis mempertimbangkan masing-masing pendapat.
Kekuatan besar:
Ketegangan
laut Cina Selatan meningkat beberapa tahun terakhir, pengamat sering
menggambarkan perairan sebagai “titik cerah” dari aspirasi kekuatan besar yang
bersaing hingga tingkat skala global. Kebangkitan Cina adalah salah satu pihak
yang berselisih namun bagaimana hal ini berubah menjadi permainan politik
internasional (Cronin dan Kaplan 2012; Hayton 2014; Kaplan 2014; Lin 2015).
Klaim diringkas dalam pernyataan berikut oleh Cronin dan Kaplan (2012:7): Saat
sistem berbasis peraturan yang lama dipupuk berpuluh-puluh tahun oleh Amerika,
negara yang sedang bangkit dinyatakan oleh Cina adalah Korea selatan. Laut Cina
Selatan akan menjadi penentu arah strategis untuk menentukan masa depan
kepemimpinan AS di kawasan Asia Pasifik.
Dengan
logika yang sama, pengamat menafsirkan jatuh dan bangunnya sengketa bilateral
Asia Tenggara dalam konteks strategi kekuatan besar (tidak termasuk strategi
Cina) dan cina dengan AS merupakan sekutu Asia terakhir (Storey 2011).
Konsekuensinya pembaca dituntut untuk percaya bahwa Asia Tenggara memiliki
tatanan internasional yang stabil merupakan hasil dari beberapa jenis
penyimpangan keseimbangan kekuatan besar (White 2008), hal itu menyebabkan
adanya pandangan teoritis yang dipertanyakan secara empiris. Kecuali bila
seseorang mengasumsikan keseimbangan kekuasaan politik meghasilkan perdamaian
territorial Asia Tenggara secara otomatis. Hal mencolok dari hubungan
internasional Asia Tenggara adalah tidak adanya rasa koherensi strategis yang
besar atau keteraturan dalam cara di mana orang Asia Tenggara dengan kekuatan
Ekstra-regional mengelola keamanan kawasan (Archaya dan Tan 2006:40).
Terlepas
dari posisi kekuasaan yang hendak diserahkan ke China, Kekuasaan Amerika
Serikat di Asia Tenggara tetap tak tertandingi. Secara teoritis bagaimanapun
efek dari sebuah kekuatan hegemonik bersifat ambigu: di satu sisi keberadaan
sebuah hegemon dapat meningkatkan konflik antara kekuatan sekunder dalam jumlah
dan intensitas tinggi. Di sisi lain, pengaruh kepemimpinan dapat mengarah pada
stabilitas yang lebih besar baik melalui intervensi untuk kepentingan menjaga
ketertiban atau melalui efek tidak langsung yang terjadi ketika negara-negara
bawahan bekerja sama untuk mengimbangi kekuatan pemimpin itu. Argumen
stabilitas kepemimpinan bergantung pada dua kondisi yaitu kesediaan pemimpin
untuk menegakkan kepatuhan dan kapasitas untuk melakukannya. Seperti faktor
berfluktuasi alami, efek Amerika Serikat yang dominan di Asia Tenggara
meningkatkan visibilitasya di wilayah itu lagi. Namun poros tidak berpengaruh
langsung pada keterlibatan Washington dalam perselisihan intraregional Asia
Tenggara. Tiap tindakan langsung akan menimbulkan kebencian dengan negara
atasan lainnya khususnya China. Ini terbukti pada kasus sengketa perbatasan
yang menyebabkan serangkaian bentrokan militer antara Kamboja dan Thailand
selama tiga tahun antara 2008 dan 2011, Kamboja mengajukan banding dua kali ke
dewan keamanan PBB namun gagal mencapai tujuannya karena AS dan China dituntut
untuk netral (Jones dan Jenne 2016). Setelah berbicara dengan dewan untuk
pertama kali pada Juli 2008, Kamboja dibawah tekanan Thailand dan juga tidak
adanya dukungan China dan AS, akhirnya menarik permintaannya untuk sidang. Kali
kedua, Februari 2011, Kamboja mendesak untuk dewan keamanan menangani masalah
ini. Meskipun dewan keamanan mempertimbangkan hal itu, pada akhirnya jawabannya
adalah hanya memberi tahu para pihak bahwa konflik harus ditangani melalui
sarana regional dan bilateral. Karena ASEAN, oragnisasi regional utama, sedikit
mampu memperbaiki situasi. Konflik antara Kamboja dan Thailand diselesaikan
menurut opini masing-masing negara yang akhrinya terdiam di sepanjang
perbatasan tanpa dukungan kekuatan besar yang memainkan peran. Berdasarkan
perspektif Asia Tenggara, ketika negara telah mencari jaminan keamanan
eksternal, di saat yang sama mereka berupaya untuk melindungi otonomi mereka.
Tidak ada negara di wilayah ini dapat menjamin dukungan pihak ketiga dalam
sengketa bilateral, dan pada kenyataannya tidak ada permintaan terbuka untuk
meminta bantuan negara lain. Di bawah
negara ASEAN, Asia Tenggara mempromosikan slogan “ketahanan melalui
pengembangan kapasitas untuk meggambarkan upaya bersama untuk mencegah
keterlibatan asing” (anwar 2000). Meskipun ada jaminan dari negara lain,
umumnya hanya diiundang sebagai bagian dari strategi perlindungan pemerintah
(kuik 2016), paling tidak mereka mengikuti apa yang pejabat senior katakan,
Kementrian Luar Negeri Thailand menyebutnya dengan “aturan daerah kumuh”
mengatakan, “jika anda begitu dekat bersama maka anda harus menutup telinga dan
mata anda, berpura-pura tidak memperhatikan apa yang sedang terjadi pada negara
lain.”
Oleh
sebab itu tidak dapat disimpulkan bahwa kerja sama antara negara ASEAN adalah
sebuah strategi utuk melawan pimpinan dan bahwa hal ini merupakan alasan
mengapa konflik telah dihindari. Misalnya, sejak pergantian millennium,
Malaysia dan Indonesia bersama Singapura dan Thailand memiliki kolaborasi dalam
berbagai skema kerja sama untuk mencegah gangguan kekuatan besar di selat
Malaka. Meskipun secara umum dianggap berhasil, ini hanya berdampak kecil pada
konflik antara Indonesia dan Malaysia atas wilayah maritim di Timur yang belum
dibatasi telah menyebabkan iritasi berulang dalam hubungan mereka selama dekade
terakhir. Konflik Ambalat yang menyebabkan pertikaian militer, tidak ada
satupun dari kedua pihak berusaha melibatkan pihak eksternal. Selain itu, tidak
mungkin bahwa AS akan mengambil risiko mengasingkan Indonesia. karena Indonesia
merupakan demokrasi mayoritas Muslim terbesar di dunia dan mitra penting dalam
perang melawan terorisme Islam. oleh karena itu perlu disimpulkan bahwa
meskipun setiap hubungan antar negara Asia Tenggara tentu saja tidak lengkap
tanpa mengakui peran yang tepat, pengelolaan sengketa territorial dalam wilayah
tersebut tidak direduksi oleh mereka. Negara dengan kekuatan besar Asia
Tenggara telah berhasil mengeksploitasi persaingan antara negara adidaya untuk
membangun arsitektur keamanan regional yang berpusat di ASEAN
(Caballero-Anthony 2014). Setelah itu, Asean menjadi organisasi regional paling
kuat yang dilembagakan dalam jaringan yang lebih luas dibanding forum
multilateral dan institusi serta ASEAN akan digunakan untuk manajemen
penyelesaian konflik dalam wilayah tersebut. Namun ketika melihat Laut Cina
Selatan, klaim tersebut menekankan peran organisasi sebagai tokoh yang
mempromosikan serangkaian norma dan prinsip tertentu. Laut Cina Selatan
merupakan sebuah kasus kritis bagi para pendukung regionalism yang dipimpin
ASEAN. Aturan yang diusulkan ASEAN mengatur klaim yang tidak sesuai sehingga
ASEAN diproklamirkan sebagai pusat asia tenggara (Terada 2012; Ba 2016).
Konsekuensinya, nasib ASEAN tergantung pada apakah dapat atau tidak dalam
mengatasi Cina (Ba 2006; Beeson 2015). Dalam sejarah masa lalu ASEAN dituduh
sebagai organisasi satu masalah yang hanya menyangkut dirinya sendiri dengan
Vietnam dan Kamboja namun uji coba nya telah berkembang di Laut Cina Selatan
(Tong 2016).
Berkenaan dengan pengelolaan konflik
territorial di Asia Tenggara umunya mengambil hikmah dari Laut Cina Selatan
yang mencakup penilaian organisasi menurut metrik yang bias. Dua posisi relevansi ASEAN sebagai actor
sudah dikenal yang pada satu sisi, pengamat berpendapat bahwa ASEAN adalah
sebuah lembaga yang tidak berdaya karena gagal untuk aktif dalam sengketa
territorial, sementara pihak lain menyebut bahwa organisasi itu sebenarnya
mampu memfasilitasi negosiasi para anggotanya meskipun tidak ada mekanisme
sanksi (Emmers 2017). Namun, perdebetan tentang apakah ASEAN telah
berkontribusi pada penaganan perselisihan secara damai? Jawabannya adalah
tidak. ASEAN tidak berperan menangani masalah territorial selain menyediakan
ruang untuk pertemuan pribadi. Sementara pada kerangka hukum konstitusi, piagam
2007, ASEAN mengikat anggota untuk menyelesaikan konflik secara damai dan
apabila gagal maka menghubungkannya dengan instrument yang wajib dengan
ketentuan. Beberapa tokoh utama dalam ASEAN berharap organisasi dapat berperan
dalam mengelola antar negara dan memberi ide solutif terutama oleh Indonesia,
pendukung individu dorongan di seluruh wilayah untuk demokratis, dan oleh grup
yang memberi nasehat pada pemerintah ASEAN dalam mempersiapkan piagam (ASEAN
2006). Namun, konsesnsus umum dalam asosiasi tetap mengatakan bahwa negara
tidak akan kompromis pada kedaulatan mereka dengan memberi ASEAN opsi atau
legitimasi untuk campur tangan dalam masalah anggota dengan pertimbangan
kompetensi nasional ekslusif.
Konflik yang disebut antara Kamboja
dan Thailand memberi peluang bagi ASEAN untuk melibatkan diri dalam
perselisihan bilateral (ICG 2011). Namun, mayoritas anggota enggan mengeluarkan
pernyataan tentang konflik dan bahkan Indonesia di bawah menteri luar negeri
yang proaktif dan dengan restu intitusional untuk bertindak sebagai ketua ASEAN
terlalu berhati-hati dalam bertindak memfasilitasi pembiacaraan antara pihak
yang berkonflik. Sekretariat ASEAN mengatakan bahwa para menteri ASEAN bertemu
secara khusus untuk membahas tentang masalah perselisihan bilateral “a historical first” (ASEAN 2011).
Namun, pada hari yang sama Kamboja dan Thailand memulai lagi perundingan yang
disponsori Indonesia di kota Bogor yang mengakibatkan hubungan Indonesia dengan
Malaysia menjadi tidak baik. Pada 7 April 2011, terdapat pertengkaran di
serangakaian insiden panjang tentang hak penangkapan ikan di ZEE yang
disengketakan Indonesia di selat malaka (Arsana 2011). Tegangnya hubungan
Indonesia dan Malaysia di tengah keheningan ASEAN semakin menunjukkan tidak
relevannya asosiasi (Sukma 2005).
ASEAN memiliki sedikit pengaruh
dalam perselisihan bilateral selain dari keinginan para negara anggota. Dari
hal tersebut menunjukkan bahwa Asia Tenggara sangat minim menempatkan sengketa
wilayah mereka ke dalam organisasi internasional. Fakta bahwa ASEAN belum
menyepakati rincian kode etik di Laut Cina Selatan bukan berarti organisasi
berhenti berjalan. Kompleksitasnya persetujuan pada kerangka kerja peraturan
untuk sengketa besar yang hanya melibatkan dua negara cukup mengejutkan negara
lain. Malaysai dan Indonesia mencoba menemukan formula pengembangan standar
perilaku di bawah perjanjian insiden laut (INCSEA) selama dua dekade. Malaysia
telah berupaya menggunakan INCSEA dengan Indonesia sebagai model untuk
perjanjian dengan negara tetangga lainnya, namun pada kemudian waktu perjanjian
tersebut menjadi tidak jelas karena kedua negara gagal menyepakati di area mana
ketentuan akan berlaku. Dalam kasus Laut Cina Selatan, hambatan itu perlu
diatasi bukan hanya dengan dua negara melainkan empat negara anggota ASEAN.
Meskipun terdapat ketidaksepakatan
tentang hal tertentu, mungkin prestasi ASEAN paling signifikan adalah
membiarkan perbedaan pendapat ini mempengaruhi hubungan secara umum yang
dikenal dengan sastra ASEAN sebagai “tanda kurung” (Leifer 1999:26). Berkat
kapasitas tanda kurung ASEAN, tidak mungkin adanya perbedaan preferensi tentang
penanganan sengketa Laut Cina Selatan yang akan mempengaruhi cara penanganan
sengketa territorial lainnya.
Banyak sarjana ASEAN berpendapat bahwa
politik internasional Asia Tenggara terbaik dalam menggambarkan jaringan kerja
sama bilateral yang tumpang tindih. (Caballero-Anthony 2005:199) Manajemen
perselisihan wilayah antar negara ASEAN telah menjadi urusan bilateral di masa
lalu yang sekarang memungkinkan akan tetap sama di masa depan. Akibatnya,
penulis berpendapat bahwa peran kekuatan besar dan ASEAN tidak boleh
dilebih-lebihkan. Lalu perlu pertimbangan bersama dengan faktor lain yang
menjelaskan mengapa sengketa wilayah pada umunya dikelola secara damai dan
jarang menyebabkan konflik kekerasan di wilayah tersebut. Pada tingkat global,
hambatan untuk mengklaim wilayah sangat sulit karena perkembangan hukum
internasional dan lembaga multilateral melarang oerubahan paksa perbatasan
internasional (Zacher 2001). Faktor lain
yang mendukung adalah penanganan tanpa kekerasan terhadap konflik perbatasan
ASEAN yang tidak mengembangkan militer yang siap untuk berperang di luar
kecuali singapura. Pengelolaan wilayah kekurangan perang tidak sulit. Seperti
pada bagian lain, penulis menunjukkan bahwa pernyataan berasalnya kasus Laut
Cina Selatan tidak sesuai dengan kasus perselirihan lainnya di Asia Tenggara
merupakan risiko dari penarikan kesimpulan yang salah.
Mengapa motif revisionism yang berlebihan dan
politik internal?
Sengketa
territorial umunya dikaitkan dengan niat buruk dan pembuat onar. Pihak yang
bertikai sering saling menuduh dan berbohong mengenai motif ekspansi wilayah,
namun ada juga persepsi lain yaitu konflik territorial sebenarnya tidak ada
hubungannya dengan masalah territorial itu sendiri. Batas sengekata digunakan
untuk tujuan politik internal. Johnston (2013) mendokumentasikan proses
terjadinya konflik Laut Cina Selatan dan diambil kutipan: “Dalam beberapa tahun
terakhir, telah menjadi umum untuk menggambarkan Republik Rakyat Tiongkok
semakin asertif, […] Banyak yang percaya bahwa itu mencerminkan keputusan oleh
kepemimpinan puncak setelah krisis keuangan tahun 2008-2009 menjadi lebih
proaktif dalam menantang kepentingan AS.”
Johnston melanjutkan untuk menunjukkan ketegasan yang diamati sebenarnya
bukan hal baru. Johnston meneliti terkait klaim meningkatnya nasionalisme Cina
bertanggung jawab atas diplomasi koersif Cina di Laut Cina Selatan yang bukan
variabel penting yang dapat menghambat kebijakan luar negeri Tiongkok. Meski
demikian wacana dominan tentang strategi Cina yang asertif di Laut Cina Selatan
meninggalkan tanda tentang bagaimana kritik dapat membatasi masalah sengketa
wilayah lainnya termasuk di Asia Tenggara. Paling tidak, Johnston memberi
kesimpulan mengenai asumsi kearifan konvensional dan gambar komedi yang beredar
di media, di antara para pakar dan akademisi sedang berkembang pesat. Di
produksi ulang di era media digital dan sosial yang memberi efek persepsi
negatif pada pengadaan kerja sama, sehingga ada baiknya menanyakan lebih dahulu
apa motif dalam konflik territorial.
Fakta
pertama yang perlu digarisbawahi bahwa perselisihan atas kepemilikan batas
teritorial hampir tidak dapat dihindari dalam dunia yang terorganisir kedalam
unit-unit yang ditentukan secara teritorial. Faktanya, konflik atas batas
yurisdiksi dan kedaulatan di darat, laut, dan udara sedikit umum dan cenderung
bertahan (Hassner 2006). Sebuah survei global mengenai kemajuan proses
penetapan batas laut menunjukkan tidak ada satupun kelompok negara dengan angka
jumlah pembatasan laut yang lebih tingi dapat dibandingkan dengan yang lain
(ASIL 2017). Bagaimanapun, tantangan akan penyelesaian perbatasan bisa menjadi
lebih mengkhawatirkan bagi negara-negara yang relatif muda. Seperti yang
dijelaskan diatas, ketika negara-negara di Asia Tenggara meraih kemerdekaan
mereka, tugas-tugas yang mereka hadapi atas kemerdekaan sangat banyak,
sementara kapasitas mereka untuk memeriksa kawasan, merevisi kembali standar Internasional,
dan negosiasi dengan negara tetangga mereka sangat jarang. Bahkan Thailand, yang
telah memiliki unit administrasi yang bertanggung jawab atas perbatasan,
terpaksa menggunakan arsip di Eropa untuk melaksanakan pembatasan yang
diperlukan. Beberapa dari permasalahan yang masih hingga saat ini, dengan
Kamboja mungkin menghadapi masalah yang paling berat pasca kurun beberapa
dekade berlangsung perang saudara yang mengakibatkan tewasnya ahli perbatasan
mereka dan hampir seluruh bukti dokumenter dihancurkan. Di sepanjang perbatasan
Myanmar, terbentang luas, perbatasan yang secara tegas tidak dapat diakses
sejak mereka berada dibawah kendali pemberontak dan tekanan perlawanan kelompok-kelompok
minoritas.
Ketidakpahaman mengenai masalah yang
berakar dari perbatasan yang tidak terjelaskan dengan mudah menyebabkan
penilaian yang kurang dari informasi yang ada. Komentar masih menunjukkan bahwa
ingatan-ingatan dari dua perang yang terjadi di Asia Tenggara pada masa lalu
yang mana motif ekspansionis telah diredam masing-masing terhadap Indonesia dan
Vietnam. Namun, dalam kedua kasus tersebut, tidak terdapat bukti yang mampu
menentukan (Gelling 2009). Dalam kasus di Indonesia, Konfrontasi, selama tiga
tahun, agresi berintensitas rendah dikerahkan terhadap pembentukan Malaysia
(1963-1966), yang di ingat terutama diluar kawasan sebagai sebuah upaya
Presiden Soekarno untuk menciptakan Indonesia Raya yang mencakup seluruh
kawasan Melayu tersebut. Akan tetapi, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa
kepentingan akan teritorial mengambil peran penting dalam konflik ini (Mackie
1974). Eksistensi motif ekspansionis tampaknya agak tidak mungkin mengingat
bahwa pada saat itu, gagasan Indonesia Raya telah menghilang dari wacana yang
relevan (Tarling 2004: 151). Alih-alih, Indonesia menjadi sebuah contoh negara
yang memberikan konsesi substantif dalam negosiasi batas untuk kepentingan
keduanya dalam perjanjian.
Kasus lain yang menjadi simbol dari
dugaan revisionisme yakni Vietnam, sebuah negara yang telah meluaskan wilayah
ke selatan selama berabad-abad hanya untuk dihentikan oleh Kolonialisme bangsa
Eropa. Menjelang invasi Vietnam ke Demokratik Kamboja pada Desember 1978,
konflik perbatasan atas batas darat dan pulau-pulau di Teluk Thailand menjadi
pemicu bentrokan yang hebat. Tetapi setelah fase awal konflik, pertanyaan
seputar batas wilayah memudar menjadi sebuah latar belakang (Heder 1979). Pada
tahapan ini, para pengamat setuju bahwa Khmer Merah Kamboja dan bukanlah
Vietnam yang justru membawa konflik pada titik yang tak dapat kembali (Heder
1979); Chanda 1986; 206). Pasca Hanoi menggantikan Khmer Merah dengan rezim
boneka baru, kedua pihak menandatangani sejumlah perjanjian perbatasan. Akan
tetapi, bagaimanapun, tidak ada satupun dari hal ini mendukung satu pihak atau
pihak lain dengan cara yang jelas.
Serangkaian
klaim lain yang harus ditanggapi dengan hati-hati bahwa para pemimpin negara
kebanyakan telah memanfaatkan konflik perbatasan untuk mengalihkan perhatian
publik dari permasalahan internal (suatu negara) atau untuk menggalang dukungan
publik untuk memperkuat legitimasi mereka. Kedua argumen tersebut di dasarkan
pada intuisi dan wawasan yang diteliti dengan baik bahwa sebuah penciptaan out-group dapat menumbuhkan kohesi in-group feeling. Meskipun mudah untuk
mengidentifikasi pemilu yang akan datang, sebuah skandal politik, atau
tanda-tanda krisis ekonomi permasalahan batas teritorial berubah menjadi isu
yang begitu kontroversi di kalangan publik, sering kali terlupa bahwa
penciptaan musuh luar merupakan strategi yang berhasil hanya jika suatu kondisi
in-group telah ada (Stein 1976). Pada
umumnya negara-negara di Asia Tenggara bukanlah negara kuat dan inklusif yang
sesuai dengan karakteristik ini, serta tidak ada alasan untuk mempercayai bahwa
fakta ini tak pernah diperhatikan oleh elit pemerintahannya (Alagappa 1995).
Bahkan untuk menjaga ketertiban internal dan eksternal, pemerintah di Asia
Tenggara lebih mengandalkan membina hubungan dengan negara-negara tetangga satu
sama lain daripada menggerakkan konflik bersama. Mungkin, satu-satunya kasus
yang mungkin populer untuk mengidentifikasi kebencian antara dua negara Asia
Tenggara yakni sikap anti-Vietnam yang lazim di Kamboja, tapi dalam hal ini
pihak antagonis tidak dapat ditelusuri oleh strategi mobilisasi pemerintah.
Tidak
ada keraguan bahwa pemerintah telah mengambil keuntungan dalam perselisihan yang
menggambarkan diri mereka sebagai terdakwa dari penyebab “nasional”. Namun,
untuk mengatakan bahwa para pemimpin sengaja menciptakan untuk tujuan dalam
negeri melebihi pengaruh politik dari sengketa perbatasan. Ketika pemerintah
telah membangkitkan hal tersebut untuk mendongkrak dukungan rakyat, mereka
melakukannya dengan strategi yang terukur. Memperhatikan konflik yang
disebutkan sebelumnya, konflik Thailand-Kamboja mengenai konflik perbatasan di
Kuil Preah Vihear. Pada saat ketegangan antara kedua belah negara semakin
memuncak, Perdana Menteri Kamboja Hun Sen mempermalukan pemerintah Thailand
Abhisit Vejjajiva melalui langkah provokatif secara terang-terangan dengan menunjuk
lawan politik Abhisit, yakni Thaksin Shinawatra sebagai penasihat pribadinya
(Phnom Penh Post 2009). Pada bulan-bulan sebelumnya, perselisihan tersebut
dengan jelas meningkatkan popularitas Hunsen, tetapi menyadari dengan baik
bahaya yang ditunjukkan manifestasi masa sementara dari pihak nasionalisme yang
agresif, dia mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa konflik tidak
akan meningkat diluar kendali. Segera setelah hal tersebut dalam sebuah
konferensi pers, Hun Sen meredakan sentimen publik, menjelaskan bahwa setelah
perbatasan yang disengketakan (kedua pihak), “kami memutuskan untuk menarik
pasukan payung dengan nomor 911 dari Preah Vihear ke barak satu minggu dari
sekarang [akan ada penarikan seluruhnya]” (The
Nation 2010).
Politik
domestik juga sering diungkit dalam kasus perselisihan antara Indonesia dan
Malaysia (Chong 2012), termasuk yang menyebutkan serangkaian insiden terhadap
batas-batas laut yang belum ditentukan. Perselisihan-perselisihan ini membuat
pemrotes turun ke jalanan di Ibukota Indonesia Jakarta secara teratur, tetapi
pada Mei 2009 agitasi publik kian dipicu ketika pers memberitakan langsung dari
kapal-kapal angkatan laut yang berjaga di daerah konflik. Presiden Indonesia
Susilo Bambang Yudhoyono, seorang pensiunan jendral militer, telah berulang
dikritik karena bersikap tidak tegas terhadap Malaysia (Jakarta Post 2009).
Namun demikian, ia melarang kontak langsung angkatan laut dengan media dan
ketegangan berangsung-angsur surut.
Terdapat
contoh lain dimana, jauh dari tujuan penggunaan kepentingan politik, pemerintah
benar-benar menekankan permasalahan teritorial sebelum mereka bisa menjadi
perhatian publik. Dalam beberapa kasus, sensor pribadi terhadap pers menjadi
sebab dimana pemerintah sangat terbantu. Salah satu contoh yakni demokrasi
otoriter Singapura (Slater 2015), dimana masyarakat secara terkondisi dicegah
memainkan peran yang berarti dalam pembuatan kebijakan luar negeri di
Singapura. Ketika Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dipanggil untuk menengahi
sebuah kasus atas poros kemaritiman Singapura yang disengketakan Malaysia,
dalam lima tahun proses (2003-2008) berlalu bergitu saja dengan hampir tiada
komentar di media. Dalam kasus kasus yang lain, Brunei dan Malaysia menyimpan
satu set surat resmi yang tersembunyi : ditandatangani pada 2009, perjanjian
tersebut menentukan pedoman-pedoman dan posisi kedua negara dalam negosiasi
kemaritiman dan perbatasan darat di masa depan. Kesimpulannya, sementara
pemerintah menyambut dampak dari perselisihan wilayah yang terkadang terjadi,
mereka juga berhati-hati dalam menggunakannya sebagai instrumen politik. Bagian
berikutnya, pembahasan akan menguraikan cara penanganan sengketa yang ada.
Bagaimana? “ASEAN-Way” dan Asia Tenggara Tidak Cukup
Anti-Legalistik dalam Menangani Konflik
Sejalan dengan
klaim yang dibahas sejauh ini, argumentasi mengenai bagaimana manajemen
sengketa teritorial di Asia Tenggara cenderung bertendensi mengitu interpretasi
dominan dari Kasus yang terjadi di Laut Cina Selatan. Kendala utama untuk turut
memajukan proses sengketa Laut Cina Selatan adalah ketidakjelasan klaim Cina
(RRT), yang bermula dari keberadaan garis nine-dash nya. Ini, bersama dengan
penolakan Cina terhadap putusan pengadilan permanen Arbitrase 2016 dalam kasus
yang diajukan ke pengadilan oleh Filipina, memperkuat persepsi lama (Barat)
tentang Cina sebagai negara dimana hukum dan produk hukum yang ada memiliki
pengaruh yang kecil secara signifikan (Ruskola 2013). Persepsi serupa pun telah
ada tentang negara Asia lainnya, terutama pada kawasan Asia Tenggara, yang mana
dikatakan telah mengembangkan cara pengelolaan konflik secara informal dan
anti-legalistik yang lazim disebut sebagai bagian dari “ASEAN-Way” (Acharya
1998). Dengan demikian, ketika Filipina memutuskan pada 2013 lalu untuk menggunakan
Arbitrase mengenai perbatasan lautnya dengan Cina, langkah Manila dipandang
sebagai upaya dari kebiasan pendekatan gaya ASEAN, termasuk juga negara lainnya
dalam organisasi dimaksud. Akan tetapi, dengan cara pandang manajemen
penyelesaian konflik yang diterapkan tersebut, negara-negara di Asia Tenggara
nampaknya kurang anti-legalistik daripada apa yang ada dalam ASEAN Way.
Sebelum
membahas mengenai informalitas “ASEAN-Way”, diperlukan sebuah pendefinisian
lebih khusus mengenai apa “ASEAN-Way” itu serta apakah ASEAN telah mengambil
peran dalam upaya pengelolaan perselisihan yang ada. Berbeda dengan diskusi di
atas, dimana saya berpendapat bahwa ASEAN tidak memiliki peran sebagai aktor
independen dalam konflik antar negara yang terjadi, dampak yng dianggap berasal
dari ASEAN-Way secara bertahap merubah preferensi dan identitas anggotanya (Ba
2005). Apakah ASEAN memiliki sebuah mode kerja tertentu yang mensosialisasikan pada
negara untuk menggunakan cara-cara informal dalam pengelolaan konflik?
ASEAN-Way
mengacu pada sebuah prosedur dan prinsip non-intervensi dalam urusan negara
lain, langkah non-formal dan musyawarah sebagai instrumen untuk pengambilan
kepurusan, dan menyelamatkan nama baik untuk menjaga martabat negara lain
(Busse 1999; Kivimaki 2001). Untuk memahami relevansi konsep yang terkenal saat
ini, perlu diingat kembali bahwa asal usul istilah yang sering terlupakan
kembali pada generasi pertama para pemimpin ASEAN, yang bagi ASEAN Way
menggambarkan ketidakmampuan asosiasi untuk menciptakan sebuah kepemimpinan.
Dipaksa untuk beroperasi atas dasar basis common
denominator minumun, diplomat ASEAN mengadopsi istilah ASEAN-Way—bukan
tanpa ironi –mengacu pada diri mereka sendiri. Konotasi negatifnya tidak
berdiri sendiri, saat ini pemerintah memiliki sebuah konsep pemersatu yang
berfungsi untuk mencegah rayuan potensial oleh individu yang menyimpang dari
garis mayoritas.
Pada
tahun 1990, akademisi tertarik pada gagasan ASEAN-Way tentang teori identitas
dalam politik Internasional (Acharya 2001; See Seng Tan 2009; Roberts 2011).
Istilah ini mendapatkan respon positif, karena terkait langsung dengan
kesuksesan ASEAN pasca perang dingin dan perluasan organisasi mereka dari
semula enam anggota menjadi 10 negara anggota, yang kemudian menetapkan tujuan besarnya
menjadi sebuah komunitas negara-negara di bidang ekonomi, politik, dan sosial
budaya (ASEAN 1997). Karena kedekatan antara akademisi dan politik yang khas di
Asia Tenggara, ASEAN-Way dengan segala berkonotasi positif tersebut dengan
cepat dimasukkan kedalam kurikulum pelatihan bagi diplomat-diplomat masa depan
dalam kawasan tersebut. Selanjutnya, para pengamat tidak bisa mengabaikan
pentingnya para pembuat kebijakan ASEAN yang terikat pada konsensus, saling
menghormati, dan dialog. Meskipun demikian, tingkat partikularisme ASEAN-Way
dan kekuatan penjelasnya yang sesuai tidak boleh ditafsirkan terlalu tinggi.
Seperti
yang disampaikan Acharya sejak awal, beberapa dari prinsip ASEAN-Way merupakan
prinsip dasar sistem negara modern (Acharya 2001: 51-56). Yakni prinsip
non-intervensi, yang mana, di atas itu, telah ditafsirkan secara fleksibel di
Asia Tenggara (Jones 2012). Demikian pula, musyawarah dan harga diri selalu
menjadi milik standar diplomat yang profesional di dunia. ASEAN telah abstain
dari pemungutan suara formal, beberapa telah lama dipraktikkan di Mercosur
Amerika Selatan (Pasar Umum Selatan) dan bahkan di PBB sekalipun. Beberapa
bukti telah gagal menunjukkan bahwa negara-negara di Asia Tenggara menghindari
instrumen hukum umum—dan, dalam sengketa perbatasan, lebih banyak dari yang
negara lain lakukan. Sejak kemerdekaan, masa depan anggota ASEAN bergantung
pada hukum internasional. Indonesia dan Filipina menandatangani “Perjanjian
Persahabatan”, yang Pasal II mengatur bahwa konflik antara kedua negara yang
tidak dapat diselesaikan dengan diplomasi atau mediasi harus dibawa ke Mahkamah
Pidana Internasional.
Negara
Asia Tenggara pertama yang menerima yurisdiksi ICJ dalam konflik territorial
adalah Kamboja dan Thailand pada tahun 1962. Enam dekade kemudian, pada 2011
Kamboja meminta Mahkamah untuk menafsirkan putusan. Kemudian Kamboja dan
Thailand bertemu lagi di Den Haag. Saat perang dingin, negara-negara Asia
Tengara menahan diri untuk tidak menggunakan sarana legal dalam resolusi
konflik. Namun karena politisasi yang terjadi pada pengadilan nasional dan
internasional menyebabkan dominasi mengenai persaingan negara adidaya.
Seperti
yang telah disebutkan diatas, sejak 1990-an beberapa negara di kawasan Asia
Tenggara memutuskan untuk membawa perselisihan mereka ke badan hukum. Meskipun
litigasi itu sendiri merupakan pengalaman baru bagi Singapura, Malaysia, dan
Indonesia. Namun ke tiga negara tersebut memiliki pengetahuan praktis dalam
menggunakan hukum internasional dalam mengejar tujuan kebijakan luar negeri
mereka. Salah satu contoh adalah Tommy Koh dari Singapura, seorang pelopor
dunia non-barat yang berkontribusi pada hukum internasional. Di antara yang
lainnya Koh memiliki pengaruh yang tinggi yaitu Ia sebagai Ketua Konferensi PBB
ketiga mengenai hukum laut (1980 – 1982), yang mana Asia Tenggara menjadi
terkenal karena kontribusinya pada keputusan tonggak konseptual. Dalam
negosiasi Indonesia dan Filipina bersama dengan Fiji dan Mauritius mencapaian
pengakuan formal terhadap konsep negara kepulauan yang kini menjadi dasar
definisi batas maritim mereka.
Perlu
dicatat bahwa keputusan Indonesia untuk membawa pulau-pulau perselisihan dengan
Malaysia pada ICJ diambil oleh pemimpin jangka panjang yaitu Suharto yang
menurut laporan Ia mengabaikan nasihat dari kementrian luar negeri. Suharto
adalah perwakilan terkemuka dari elit Jawa Indonesia, yang dikatakan telah
mengklaim mengenai cara pengelolaan konflik ASEAN berdasarkan budaya
konsensusnya (Leifer 2000:25). Pada dasarnya cara ASEAN memang kurang anti-legalis
daripada yang diasumsikan pada umunya. Namun banyak yang mempertanyakan mengapa
informalitas lebih digemari dalam wacana walaupun pada praktiknya tidak
demikian. Melihat kembali pada asal-usul ASEAN yang menunjukkan bahwa terdapat
semangat Bandung dan masih hidupnya gerakan anti kolonial yang membingkai hukum
internasional sebagai instrumen yang pernah mendukung dominasi barat.
Bagaimanapun juga apabila ASEAN memilih konstruksi identitas yang tidak
menekankan legalisasi dan sarana formal untuk solusi sengketa antar negara,
tetap tidak akan mencegah mereka mengandalkan hukum internasional dalam
menangani perselisihan territorial.
Kesimpulan:
Tujuan
penulis dalam artikel ini adalah untuk menambahkan dan tidak menyangkal
persepsi umum tentang pengelolaan konflik territorial di Asia Tenggara. Penulsi
berpendapat berdasarkan pengamatan pada sengketa Laut Cina Selatan dan
serangkaian konflik yang tidak dapat dibandingkan untuk kasus sengketa
territorial lainnya di wilayah Asia Tenggara. Perlu untuk membedakan antara
peran tokoh eksternal dan ASEAN yang berperan pada keamanan Asia Tenggara
secara umum dan dalam perselisihan bilateral secara khusus. Bukan pula kekuatan
besar atau ASEAN sebagai tokoh independen sebagai kunci untuk menjelaskan
bagaimana masalah territorial Asia Tenggara dikelola. Terutama kritik mengenai
kurangnya tindakan ASEAN dalam permasalahan territorial harus diukur dari
tujuan organisasi yang dinyatakan secara umum untuk mengecualikan masalah
bilateral. Persepsi kedua yaitu pandangan bahwa konflik territorial didorong
oleh niat buruk yang menjadi motif ekspansi atau untuk menciptakan musuh
eksternal demi meningkatkan peringkat kesepakatan domestic. Politisi Asia
Tenggara cenderung mengeksploitasi masalah untuk keperluan internal. Namun konflik
pengalihan belum menjadi norma ASEAN karena dikhawatirkan akan semakin banyak
bentrokan bersenjata terjadi di wilayah Asia Tenggara. Tujuan keamanan negara
Asia Tenggara adalah untuk menjaga stabilitas internal.
Kemudian,
bagaimana negara mengatur sengketa territorial sebelum mereka dapat
meningkatkannya ke ICJ? Penulis
menyimpulkan persepsi umum bahwa terdapat cara pengelolaan konflik yang baik di
Asia Tenggara yang dicirikan dengan pendekatan informal, anti-legalisasi. Namun
mengadopsi perspektif yang kurang memberi peluang, penulis memberikan opini
yang menunjukkan Asia Tenggara sangat ragu untuk menggunakan instrumen
penyelesaian sengketa hukum. Terdapat sedikit keraguan bahwa konflik Laut Cina
Selatan akan mendominasi keamanan kawasan Asia Tenggara selama bertahun-tahun.
Dalam kasus tersebut, negara penutut ASEAN telah berpedoman pada perjanjian
tidak tertulis mereka bahwa beberapa bentuk penyelesaian perlu dicapai dengan
China sebelum segala upaya dilakukan untuk menyelesaikan klaim yang tumpang tindih
di antara mereka sendiri. Dengan demikian perselisihan ASEAN di Laut Cina
Selatan memungkinkan untuk tetap aktif pada waktu yang akan datang.
Terdapat
sedikit saran mengenai perkembangan Laut Cina Selatan akan memiliki dampak yang
signifikan pada bagaimana sengketa territorial lainnya di wilayah Asia Tenggara
akan ditangani. Sejumlah kasus belum terselesaikan dan mungkin saja akan
terjadi perselisihan baru. Salah satu tantangan besar untuk Asia Tenggara
adalah mengenai kasus perbatasan antara Myanmar dengan Laos dan Thailand. Jika
Myanmar bergerak maju ke dalam transisi politiknya, harus melakukan tugas yang
sulit mengenai pembatasan wilayah yang selama beberapa dekade telah dilakukan
dengan kekerasan antara pasukan bersenjata dan criminal. Jika proses mengikuti
pola yang sama, akan menjadi proses bilateral ketat yang diatur oleh keinginan
tidak membiarkan perselisihan meningkat. Karena terkadang politik lebih komplek
dan bagaimana pun juga ada baiknya untuk belajar dari pengalaman dengan
pribahasa “pagar yang baik akan membuat tetangga yang baik pula.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar