Jumat, 15 Mei 2020

Mengelola Sengketa Perbatasan di Asia Tenggara: Apakah Ada yang Lebih dari Laut Cina Selatan?

Mengelola Sengketa Perbatasan di Asia Tenggara:

Apakah Ada yang Lebih dari Laut Cina Selatan?

Satryo Sasono,

Abstrak

Konflik di Laut Cina Selatan menjadi perdebatan mengenai bagaimana keamanan Asia Tenggara dan secara khusus membahas sejauh apa pengelolaan sengketa perbatasan yang dikelola di wilayah tersebut.  Namun, kasus ini bukanlah menjadi contoh bagi negara-negara Asia Tenggara seputar cara menangani sengketa teritorial secara umum. Artikel ini mengumpulkan tiga persepsi secara umum tentang manajemen konflik yang begitu diutarakan tentang Kasus Laut Selatan Cina, tetapi memiliki relevansi yang lebih rendah ketika melihat konflik perbatasan lainnya dalam kawasan tersebut. Saya menawarkan sumber bacaan kritis tentang siapa, mengapa, dan bagaimana pengelolaan konflik teritorial dan memberikan pedoman tentatif tentang apa yang diharapkan di masa depan.

Kata Kunci : Asia Tenggara, ASEAN, Konflik Perbatasan, Penyelesaian Sengketa

A.  Pendahuluan

Beberapa tahun terakhir, sengketa yang terjadi di Laut Cina Selatan telah meningkatkan ketertarikan yang tinggi terhadap konflik teritorial terhadap fitur-fitur daratan dan kawasan maritim Asia-Pasifik. "Industri rumahan" (Klintworth 1994: 211) yang berkembang di sekitar kebangkitan Cina cenderung menjadi sebab banyaknya kasus sengketa teritorial lainnya di wilayah tersebut.  Melihat kasus Laut Cina Selatan, artikel ini menunjukkan, kasus-kasus perselisihan lain yang terjadi menjadi sebuah kesalahpahaman. Laut Cina Selatan masih jauh dari kasus biasa dan karena itu gagal memberikan perbandingan langsung dengan sengketa teritorial lainnya di kawasan tersebut.

Karakteristik mengenai konflik Laut Cina Selatan telah dikenal luas. Konflik tersebut melibatkan serangkaian selisih permasalahan mengenai siapa yang berhak atas pulau tersebut dan wilayah laut diantara keduanya dan terkadang melibatkan banyak negara (lihat Hayton: 2014). Bersamaan, setidaknya terdapat enam pihak yang terlibat langung didalamnya : Cina (RRT) yang mengeklaim bahwa wilayahnya merupakan yang terbesar menurut sembilan garis dash-line nya yang terkenal; Taiwan; serta empat negara yang ada dikawasan Asia Tenggara yakni Brunei Darussalam, Filipina, Malaysia, dan Vietnam yang merupakan bagian dari negara-negara di Kawasan ASEAN. Negara anggota ASEAN yang kelima, Indonesia, yang juga mengklaim bahwa Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) mereka mengalami garis tumpang tindih dengan dash-line yang diterapkan oleh Cina daratan. Namun, Indonesia hanya mengambil tindakan seminimal mungkin dan menjadi perantara penengah yang jujur dalam perselisihan tersebut. Jelas karena ZEE merupakan zona yurisdiksi dan bukan kedaulatan, mereka yang berwenang lebih pada mengambil posisi bersembunyi dengan dalih bahwa mereka bukan menjadi pihak yang turut andil dalam persengketaan, sebuah posisi dimana yang mulai diulang kembali dan dengan kehati-hatian yang tinggi. (Supriyanto: 2016)

Selain banyaknya pihak dalam sengketa, masalah Laut Cina Selatan semakin rumit melihat fakta turut melibatkan Cina (RRT), yang memiliki kekuatan dominan di kawasan tersebut, sehingga menimbulkan pertaruhan penting bagi Amerika Serikat dalam sengketa tersebut. Meskipun kasus ini bukanlah menjadi simbol dari sekian banyak sengketa perbatasan lainnya di kawasan ini, namun resiko akan kekhawatiran yang kuat akan anggapan tentang bagaimana manajemen pengelolaan sengketa di kawasan Asia Tenggara. Lebih lagi, ketidaksepakatan atas Laut Cina Selatan terkadang kurang dipahami. Analisis superfisial terlihat tidak banyak membantu dalam memahami bagaimana kasus yang serupa telah dikelola di suatu tempat dalam kawasan ini.

Artikel ini menawarkan sebuah pembahasan kritis mengenai klaim atas upaya manajemen penyelesaian sengketa di kawasan Asia Tenggara. Hal ini banyak dijumpai di platform media juga proses akademik dikelola dimana diketemukan sebuah kesalahpahaman akan persepsi yang lolos dari pengawasan yang cukup ketat. Jumlah studi yang dilakukan mengenai penanganan konflik perbatasan yang terjadi secara sistematis di Asia Tenggara juga sangat sedikit, meskipun fakta bahwa permasalahan teritorial telah mengambil peran penting di kawasan ini. Kemungkinan karena rendahnya tingkat kejelasan publik secara umum terhadap sengketa wilayah ini menarik minat ilmiah yang sporadis, kasus yang spesifik, dan sering bersifat deskriptif.

Secara objektif tujuan dari diskusi ini bukan dalam ranah untuk menangkal narasi yang dominan; pada kenyataannya, beberapa proposisi yang dikembangkan di sini tidak berkontradiksi dengan klaim yang saya ajukan. Sebaliknya, artikel tersebut berkontribusi pada debat dengan segala detail yang menyulitkan pembaca dan oleh karenanya mengarahkan pada sebuah perbedaan kesimpulan yang radikal. Selain itu, saya menemukan sebuah titik balik yang karena berbagai alasan, kurang mendapat perhatian dalam literatur. Untuk lebih jelasnya, artikel ini menawarkan sedikit cara untuk menjelaskan perdebatan di Laut Cina Selatan. Sebaliknya untuk tujuan dalam penelitian ini, saya menggunakan sebuah kasus untuk menunjukkan bagaimana persepsi atas manajemen penyelesaian sengketa Internasional di Asia Tenggara telah bias terhadap tantangan yang sedikit luar biasa di Laut Cina Selatan, dan untuk menyoroti pula bagaimana kasus lain yang berbeda.

Klaim atas individu yang dibahas berurutan dalam artikel ini dikelompokkan atas tiga posisi luas yang membahas siapa, kenapa, dan bagaimana sengketa teritorial dan pengelolaannya di Asia Tenggara. Posisi pertama, pada siapa dalam pengelolaan sengketa tersebut, cenderung melebih-lebihkan peran pihak ketiga, khususnya peran penjamin keamanan eksternal dan ASEAN (Kivimäki 2001; Buzan and Wæver 2003: 144–171). Pada posisi kedua, menyatakan bahwa pertanyaan mengapa pada perselisihan ini dapat dijawab dengan mengacu pada sikap kebijakan luar negeri yang agresif, terutama dalam situasi ketidakstabilan domestik (Blanchard: 2003). Persepsi ketiga, condong ke ekstrim lainnya. Seperangkat argumen pada pertanyaan bagaimana sengketa telah dikelola pada posisi bahwa Asia Tenggara telah mengembangkan cara tertentu untuk mengatasi konflik. Oleh karena itu, nilai-nilai Asia yang di ilhami kedalam “ASEAN Way” telah ditandai oleh sikap anti-legalis dan cenderung untuk dihindari, daripada menyelesaikan konflik (Busse:1999; Acharya: 2001). Sebelum membahas tiga posisi tersebut, bagian selanjutnya dimulai dengan tinjauan umum mengenai sengketa teritorial di wilayah tersebut.

Sengketa Perbatasan Asia Tenggara

Bagian terbesar dari perbatasan kontemporer Asia Tenggara berasal dari zaman Kekaisaran Eropa. Dimana batas-batas yang ada sebelumnya tidak begitu pasti, pemukim Eropa menarik garis batas untuk menghentikan pergerakan musuh mereka. Inggris datang untuk mendominasi bagian barat wilayah tersebut, yang terdiri dari Myanmar kontemporer (Burma), Malaysia, dan Singapura. Di Timur, Perancis menduduki negara-negara kawasan semenanjung seperti Laos, Vietnam, dan Kamboja. Belanda mengeklaim pulau-pulau di Indonesia, dan negara Filipina pertama kali dijajah oleh Spanyol dan kemudian dikuasai oleh Amerika Serikat. Hanya Thailand yang dapat mempertahankan kemerdekaan berkat posisi geografisnya sebagai zona penyangga antara Inggris dan Perancis. Dalam istilah nyata, otonomi Siam, demikian sebutan Thailand, sangat dikompromikan dan pengaruh Eropa pada perluasan teritorial dan konsepsi kuat wilayahnya. (Thongchai Winichakul: 1994).

            Ketika negara-negara Asia Tenggara memperoleh kemerdekaan pasca Perang Dunia ke-II, batas-batas administrasi kolonial menjadi perbatasan internasional yang baru. Bagaimanapun, seiring dengan keberadaan negara baru, muncul sejumlah besar klaim atas wilayah yang ada, meski akan lebih sering lagi dijumpai beberapa tahun kemudian. Batas-batas yang tersisa dari zaman peninggalan kolonial begitu ambigu dan/atau tidak jelas batasnya, atau sama sekali tidak pernah ditetapkan. Kebijakan yang diambil pada masa kolonial lebih banyak pada segi maritim, mengingat bahwa rezim hukum laut kontemporer berkembang secara signifikan hanya pada paruh kedua abad ke-20. Meskipun mengalami kesulitan, hanya terdapat tiga perubahan yang signifikan dalam tatanan wilayah perbatasan sejak kemerdekaan: pada 1965, ketika Singapura berpisah dari Malaysia; pada tahun 1975, dengan bersatunya Vietnam Utara dan Selatan; dan pada tahun 2002, ketika Indonesia mengakhiri pendudukannya atas Timor-Leste sejak 1975 lalu, sembilan hari setelah pemberian kemerdekaan dari Portugal.

Selama perang dingin terjadi, sulit untuk menentukan perbatasan bagi negara yang baru merdeka karena adanya perang di semenanjung Asia Tenggara. Terdapat satu pihak di antara negara-negara di Asia Tenggara yang merupakan lawan dari negara adidaya. Tidak ada upaya lebih lanjut untuk bernegosiasi mengenai klaim wilayah. Pada kelompok komunis, Laos dan Vietnam menyelesaikan beberapa perselisihan melalui perjanjian yang ditandatangani pada Juli 1977. Dalam perjanjian tersebut, menjelaskan tentang pengembalian wilayah Laos yang dahulu dipakai Vietnam Utara untuk Ho Chi Minh dalam memperjuangkan kemerdekaan. (Le Thai Hoang 2007:11). Akta perjanjian tersebut tidak publikasikan sampai tahun 1986 sehingga menimbulkan kecurigaan bahwa pemerintah Laos dengan Hanoi telah terikat pada perjanjian yang buruk. Namun menurut jurnal Inggris “perjanjian dan pembatasan wilayah tidak merugikan Laos apabila Laos tidak menyerah secara substansial mengenai wilayahnya” (Amer dan Hong Thao 2005:432). Sejak Maret 2016, pemberian tanda batasan sebanyak 1002 marka perbatasan Laos Vietnam telah dianggap selesai.

            Di sepanjang perbatasan Vietnam dengan Kamboja hampir tidak ada kemajuan mengenai penyelesaian perselisihan. Selama masa itu, Pol Pot dan Khmer Merah memerintah di Phnom Penh, sehingga upaya Hanoi untuk mencapai perjanjian yang mirip dengan perjanjian Laos dialihkan dengan menyerbu Kamboja (Heder 1979). Hanoi menyimpulkan perjanjian tentang prinsip penyelesaian sengketa perbatasan (1983), perjanjian sejarah perairan (1982) dan perjanjian tentang pembatasan (1985) dengan yang baru yaitu Pemerintah Republik Rakyat Kampuchea (PRK). Seluruh perjanjian tersebut diperdebatkan dengan sengit. Pada tahun 1996, Raja Sihanouk dan mantan perdana menteri Kamboja Norodom Ranariddh secara terbuka menyatakan ketentuan tersebut batal demi hukum. Pada beberapa saat, adanya protes yang menuntun pembatalan tersebut telah berubah menjadi kekerasan hingga tahun 2015 (straits times 2015). Untuk memahami oposisi, masalah perbatasan perlu ditempatkan pada sejarah konteks politik Kamboja dan sentiment anti-Vietnam (Thayer 2012). Elit yang berkuasa saat ini sebagian besar masih sama dengan tokoh yang di meja negosiasi ketika perjanjian perbatasan dibuat, dengan ketidakpuasan yang meningkat diiringi ironi kapitalisme. Selama beberapa tahun terakhir hal tersebut telah mengubah perbatasan dengan salah satu bagian program utama untuk oposisi politik yang terorganisir lemah.

            Sehubungan dengan ketentuan individual dari perjanjian yang ada, beberapa studi independen menyimpulkan bahwa perjanjian dari 1980-an sesuai dengan praktik standar dalam hukum internasional. Mengenai kerangka perjanjian kerja tentang batas laut, menuai kritik yang cukup banyak berdasarkan studi rinci, dicatat bahwa “pengamat tidak dipedulikan mengenai pertanyaan apa yang sebenarnya telah diselesaikan” (Farrell 1992:335). Di perbatasan darat, perbandingan antara koordinat geografis perjanjian 1985 dan peta yang digunakan kedua belah pihak menunjukkan bahwa “sangat sedikit dan sangat kecil perubahan yang dilakukan di perbatasan lama” (Vickery 2011: 40-42). Namun menginngat sensitivitas politik yang berlaku, kedua negara masih belum dapat menyelesaikan masalah yang tertunda pada wilayah perbatasan, yang semula ditargetkan pada tahun 2012. Sementara, kelompok komunis hanya mencapai kemajuan kecil dalam menyelesaikan perbatasan mereka. Selama perang dingin negara non-komunis Asia Tenggara yang disejajarkan dengan Barat menunda perundingan batas wilayah yang hampir selesai. Mereka merasa bahwa dalam menghadapi masalah yang sangat mendesak diperlukan kerja sama. Sedangkan potensi konflik klaim wilayah yang tumpang tindih terlalu berisiko untuk dibicarakan secara terbuka. Menjelang pertengahan 1960-an, asosiasi regional dipandang sebagai pilihan terbaik untuk mempertahankan gelar otonomi sambil memastikan keterlibatan berkelanjutan Amerika Serikat yang menentang kemajuan komunis di Asia Tenggara. Ini adalah salah satu dari ASEAN yang menceritakan kisah sukses ditangguhkanmnya konflik Filipina dan Malaysia atas negara Melayu Sabah karena untuk pertahanan ASEAN agar tidak seperti pendahulunya yaitu Asosiasi Asia Tenggara (ASA), yang telah ditutup oleh Filipina dengan mengklaim Sabah (Turnbull 1992: 615-617). Meski Filipina belum aktif mewujudkan klaim mereka, namun masalah ini telah menyebabkan iritasi baru di tahun 2013 yang disebut insiden Lahad Datu dan belum terselesaikan.

            Contoh lain yang serupa adalah penyelesaian perbatasan yang tertunda di Indonesia. Selama perang dingin, Indonesia membuat perjanjian batas laut dengan dua dari lima negara tetangganya di Asia Tengara yaitu Thailand (1971), dan Malaysia (1969 dan 1970) hanya karena hal tersebut dipandang penting untuk mencapai pengakuan internasional mengenai statusnya sebagai negara kepulauan (Jagal 2009). Diluar yang Indonesia lihat pembahasan tersebut ditunda agar tidak mengancam kerja ASEAN.

            Setelah perang dingin berakhir dan perjanjian perdamaian Paris 1991 menyambut dengan resmi penarikan Vietnam dari Kamboja dan ASEAN disambut empat anggota baru: Vietnam (1995), Laos (1997), Myanmar (1997), dan Kamboja (1999). Vietnam adalah negara pertama pembuat kemajuan yang signifikan dalam batas-batas lautnya (Amer dan Hong Thao: 2005). Sebagai mantan direktur divisi urusan politik di Jakarta Departemen ASEAN di kementrian luar negeri menjelaskan, “dengan semua pertemuan ASEAN ini sekarang mudah bagi kami berbicara dengan seliuruh negara di kawasan Asia Tenggera dan kami sudah siap menyelesaikan masalah perbatasan.” Thailand yang telah memulai kebijakan pemulihan hubungan dengan negara Indonesia di bawah perdana menteri Chatichai Choonhavan (1986-1991), mendirikan perbatasan bersama komisi Laos, Myanmar, dan Kamboja, di Malaysia juga dibuat sebuah kelompoj kerja yang serupa. Kemajuan di antara anggota Asean: Mahkamah International (ICJ) memutuskan perselisihan territorial antara Indonesia dan Malaysia tentang pulau Sipadan dan Ligitan (2002), antara Malaysia dan Singapura dengan tiga maritime fitur pedra branca atau batu puteh, middle rock dan south ledge (2008), dan antara Kamboja dan Thailand (2013) atas interpretasi penilaian sebelumnya dari ICJ atas kepemilikan kuil Preah Vihear dari tahun 1962.

Meskipun demikian, semua negara dari Asia Tenggara masih menunggu resolusi dari konflik territorial dengan satu tetangga mereka.  Jumlah perselisihan yang tersisa tidak dapat dipastikan dan juga tidak semua perselisihan yang ada belum diungkap secara terbuka. Hal tersebut harus diingat ketika menggunakan basis data sengkeya territorial (Huth 1996; Huth dan Allee 2002; Hensel et al 2008), terutama bila berkaitan dengan daratan Asia Tenggara yang mana beberapa negara belum mengakui adanya interpretasi yang saling bertentangan dengan perbatasan mereka. Oleh sebab itu sengketa territorial cenderung tetap menjadi agenda politik setidaknya dalam jangka nmenengah. Selanjutnya akan dibahas siapa dalang konflik territorial khususnya pihak ketiga. Penulis mulai dengan membuat sketsa asumsi dominan tentang sengketa laut cina selatan sebelum membahasnya dengan pertimbangan perselisihan intraregional bilateral Asia Tenggara. Pada tiap bagian menunjukkan klaim yang berdasarkan cina selatan yag tidak mudah diterapkan pada sengketa wilayah lain. Klaim yang terpilih cenderung meningkatkan presepsi yang salah mengenai sengketa wilayah di Asia Tenggara.

Siapa? Peran keamanan eksternal yang berlebihan penjaminnya dan ASEAN

Masalah wilayah dikenal sebagai yang paling kontroversial di politik dunia internasional. Probabilitas bahwa masalah perbatasan akan meingkat menjadi konflik bersenjata tergantung pada kepentingan strategis, ekonomi, dan simbolisnya. Meskipun demikian, banyak peneliitian yang menunjukkan bahwa perselisihan territorial memiliki risiko inheren antar negara dengan kekerasan (Senese 2005;Hensel et al 2008). Walaupun Asia Tenggara sering mengalami pertengkaran territorial, wilayah tersebut hanya mengalami dua perang yang mengubah perbatasan internasionalnya yaitu: perang yang mempersatukan Vietnam, dan pendudukan Indonesia atas Timor Leste. Keduanya terjadi pada tahun yang sama yaitu tahun 1975.

Kedua peristiwa tersebut sangat dipengaruhi oleh sistem bipolar dari perang dingin dan keterlibatan langsung para protagonisna. Selain dua perang itu, terdapat perang yang membentuk negara dan Asia Tenggara berhasil menyelesaikan sengketa antar negara yang terlibat konflik bersenjata. Terdapat dua penjelasan umun mengenai hal itu: tidak adanya perang antar negara utama yang memiliki kekuatan besar dan adanya ASEAN. Referansi lain mengatakan adanya mitigasi dalam konflik namun tampaknya didasarkan pada pengalaman laut cina selatan dan pendapat tersebut kurang relevan. Penulis mempertimbangkan masing-masing pendapat.

Kekuatan besar:

Ketegangan laut Cina Selatan meningkat beberapa tahun terakhir, pengamat sering menggambarkan perairan sebagai “titik cerah” dari aspirasi kekuatan besar yang bersaing hingga tingkat skala global. Kebangkitan Cina adalah salah satu pihak yang berselisih namun bagaimana hal ini berubah menjadi permainan politik internasional (Cronin dan Kaplan 2012; Hayton 2014; Kaplan 2014; Lin 2015). Klaim diringkas dalam pernyataan berikut oleh Cronin dan Kaplan (2012:7): Saat sistem berbasis peraturan yang lama dipupuk berpuluh-puluh tahun oleh Amerika, negara yang sedang bangkit dinyatakan oleh Cina adalah Korea selatan. Laut Cina Selatan akan menjadi penentu arah strategis untuk menentukan masa depan kepemimpinan AS di kawasan Asia Pasifik.

Dengan logika yang sama, pengamat menafsirkan jatuh dan bangunnya sengketa bilateral Asia Tenggara dalam konteks strategi kekuatan besar (tidak termasuk strategi Cina) dan cina dengan AS merupakan sekutu Asia terakhir (Storey 2011). Konsekuensinya pembaca dituntut untuk percaya bahwa Asia Tenggara memiliki tatanan internasional yang stabil merupakan hasil dari beberapa jenis penyimpangan keseimbangan kekuatan besar (White 2008), hal itu menyebabkan adanya pandangan teoritis yang dipertanyakan secara empiris. Kecuali bila seseorang mengasumsikan keseimbangan kekuasaan politik meghasilkan perdamaian territorial Asia Tenggara secara otomatis. Hal mencolok dari hubungan internasional Asia Tenggara adalah tidak adanya rasa koherensi strategis yang besar atau keteraturan dalam cara di mana orang Asia Tenggara dengan kekuatan Ekstra-regional mengelola keamanan kawasan (Archaya dan Tan 2006:40).

Terlepas dari posisi kekuasaan yang hendak diserahkan ke China, Kekuasaan Amerika Serikat di Asia Tenggara tetap tak tertandingi. Secara teoritis bagaimanapun efek dari sebuah kekuatan hegemonik bersifat ambigu: di satu sisi keberadaan sebuah hegemon dapat meningkatkan konflik antara kekuatan sekunder dalam jumlah dan intensitas tinggi. Di sisi lain, pengaruh kepemimpinan dapat mengarah pada stabilitas yang lebih besar baik melalui intervensi untuk kepentingan menjaga ketertiban atau melalui efek tidak langsung yang terjadi ketika negara-negara bawahan bekerja sama untuk mengimbangi kekuatan pemimpin itu. Argumen stabilitas kepemimpinan bergantung pada dua kondisi yaitu kesediaan pemimpin untuk menegakkan kepatuhan dan kapasitas untuk melakukannya. Seperti faktor berfluktuasi alami, efek Amerika Serikat yang dominan di Asia Tenggara meningkatkan visibilitasya di wilayah itu lagi. Namun poros tidak berpengaruh langsung pada keterlibatan Washington dalam perselisihan intraregional Asia Tenggara. Tiap tindakan langsung akan menimbulkan kebencian dengan negara atasan lainnya khususnya China. Ini terbukti pada kasus sengketa perbatasan yang menyebabkan serangkaian bentrokan militer antara Kamboja dan Thailand selama tiga tahun antara 2008 dan 2011, Kamboja mengajukan banding dua kali ke dewan keamanan PBB namun gagal mencapai tujuannya karena AS dan China dituntut untuk netral (Jones dan Jenne 2016). Setelah berbicara dengan dewan untuk pertama kali pada Juli 2008, Kamboja dibawah tekanan Thailand dan juga tidak adanya dukungan China dan AS, akhirnya menarik permintaannya untuk sidang. Kali kedua, Februari 2011, Kamboja mendesak untuk dewan keamanan menangani masalah ini. Meskipun dewan keamanan mempertimbangkan hal itu, pada akhirnya jawabannya adalah hanya memberi tahu para pihak bahwa konflik harus ditangani melalui sarana regional dan bilateral. Karena ASEAN, oragnisasi regional utama, sedikit mampu memperbaiki situasi. Konflik antara Kamboja dan Thailand diselesaikan menurut opini masing-masing negara yang akhrinya terdiam di sepanjang perbatasan tanpa dukungan kekuatan besar yang memainkan peran. Berdasarkan perspektif Asia Tenggara, ketika negara telah mencari jaminan keamanan eksternal, di saat yang sama mereka berupaya untuk melindungi otonomi mereka. Tidak ada negara di wilayah ini dapat menjamin dukungan pihak ketiga dalam sengketa bilateral, dan pada kenyataannya tidak ada permintaan terbuka untuk meminta bantuan negara lain. Di bawah negara ASEAN, Asia Tenggara mempromosikan slogan “ketahanan melalui pengembangan kapasitas untuk meggambarkan upaya bersama untuk mencegah keterlibatan asing” (anwar 2000). Meskipun ada jaminan dari negara lain, umumnya hanya diiundang sebagai bagian dari strategi perlindungan pemerintah (kuik 2016), paling tidak mereka mengikuti apa yang pejabat senior katakan, Kementrian Luar Negeri Thailand menyebutnya dengan “aturan daerah kumuh” mengatakan, “jika anda begitu dekat bersama maka anda harus menutup telinga dan mata anda, berpura-pura tidak memperhatikan apa yang sedang terjadi pada negara lain.”

Oleh sebab itu tidak dapat disimpulkan bahwa kerja sama antara negara ASEAN adalah sebuah strategi utuk melawan pimpinan dan bahwa hal ini merupakan alasan mengapa konflik telah dihindari. Misalnya, sejak pergantian millennium, Malaysia dan Indonesia bersama Singapura dan Thailand memiliki kolaborasi dalam berbagai skema kerja sama untuk mencegah gangguan kekuatan besar di selat Malaka. Meskipun secara umum dianggap berhasil, ini hanya berdampak kecil pada konflik antara Indonesia dan Malaysia atas wilayah maritim di Timur yang belum dibatasi telah menyebabkan iritasi berulang dalam hubungan mereka selama dekade terakhir. Konflik Ambalat yang menyebabkan pertikaian militer, tidak ada satupun dari kedua pihak berusaha melibatkan pihak eksternal. Selain itu, tidak mungkin bahwa AS akan mengambil risiko mengasingkan Indonesia. karena Indonesia merupakan demokrasi mayoritas Muslim terbesar di dunia dan mitra penting dalam perang melawan terorisme Islam. oleh karena itu perlu disimpulkan bahwa meskipun setiap hubungan antar negara Asia Tenggara tentu saja tidak lengkap tanpa mengakui peran yang tepat, pengelolaan sengketa territorial dalam wilayah tersebut tidak direduksi oleh mereka. Negara dengan kekuatan besar Asia Tenggara telah berhasil mengeksploitasi persaingan antara negara adidaya untuk membangun arsitektur keamanan regional yang berpusat di ASEAN (Caballero-Anthony 2014). Setelah itu, Asean menjadi organisasi regional paling kuat yang dilembagakan dalam jaringan yang lebih luas dibanding forum multilateral dan institusi serta ASEAN akan digunakan untuk manajemen penyelesaian konflik dalam wilayah tersebut. Namun ketika melihat Laut Cina Selatan, klaim tersebut menekankan peran organisasi sebagai tokoh yang mempromosikan serangkaian norma dan prinsip tertentu. Laut Cina Selatan merupakan sebuah kasus kritis bagi para pendukung regionalism yang dipimpin ASEAN. Aturan yang diusulkan ASEAN mengatur klaim yang tidak sesuai sehingga ASEAN diproklamirkan sebagai pusat asia tenggara (Terada 2012; Ba 2016). Konsekuensinya, nasib ASEAN tergantung pada apakah dapat atau tidak dalam mengatasi Cina (Ba 2006; Beeson 2015). Dalam sejarah masa lalu ASEAN dituduh sebagai organisasi satu masalah yang hanya menyangkut dirinya sendiri dengan Vietnam dan Kamboja namun uji coba nya telah berkembang di Laut Cina Selatan (Tong 2016).

            Berkenaan dengan pengelolaan konflik territorial di Asia Tenggara umunya mengambil hikmah dari Laut Cina Selatan yang mencakup penilaian organisasi menurut metrik yang bias. Dua posisi relevansi ASEAN sebagai actor sudah dikenal yang pada satu sisi, pengamat berpendapat bahwa ASEAN adalah sebuah lembaga yang tidak berdaya karena gagal untuk aktif dalam sengketa territorial, sementara pihak lain menyebut bahwa organisasi itu sebenarnya mampu memfasilitasi negosiasi para anggotanya meskipun tidak ada mekanisme sanksi (Emmers 2017). Namun, perdebetan tentang apakah ASEAN telah berkontribusi pada penaganan perselisihan secara damai? Jawabannya adalah tidak. ASEAN tidak berperan menangani masalah territorial selain menyediakan ruang untuk pertemuan pribadi. Sementara pada kerangka hukum konstitusi, piagam 2007, ASEAN mengikat anggota untuk menyelesaikan konflik secara damai dan apabila gagal maka menghubungkannya dengan instrument yang wajib dengan ketentuan. Beberapa tokoh utama dalam ASEAN berharap organisasi dapat berperan dalam mengelola antar negara dan memberi ide solutif terutama oleh Indonesia, pendukung individu dorongan di seluruh wilayah untuk demokratis, dan oleh grup yang memberi nasehat pada pemerintah ASEAN dalam mempersiapkan piagam (ASEAN 2006). Namun, konsesnsus umum dalam asosiasi tetap mengatakan bahwa negara tidak akan kompromis pada kedaulatan mereka dengan memberi ASEAN opsi atau legitimasi untuk campur tangan dalam masalah anggota dengan pertimbangan kompetensi nasional ekslusif.

            Konflik yang disebut antara Kamboja dan Thailand memberi peluang bagi ASEAN untuk melibatkan diri dalam perselisihan bilateral (ICG 2011). Namun, mayoritas anggota enggan mengeluarkan pernyataan tentang konflik dan bahkan Indonesia di bawah menteri luar negeri yang proaktif dan dengan restu intitusional untuk bertindak sebagai ketua ASEAN terlalu berhati-hati dalam bertindak memfasilitasi pembiacaraan antara pihak yang berkonflik. Sekretariat ASEAN mengatakan bahwa para menteri ASEAN bertemu secara khusus untuk membahas tentang masalah perselisihan bilateral “a historical first” (ASEAN 2011). Namun, pada hari yang sama Kamboja dan Thailand memulai lagi perundingan yang disponsori Indonesia di kota Bogor yang mengakibatkan hubungan Indonesia dengan Malaysia menjadi tidak baik. Pada 7 April 2011, terdapat pertengkaran di serangakaian insiden panjang tentang hak penangkapan ikan di ZEE yang disengketakan Indonesia di selat malaka (Arsana 2011). Tegangnya hubungan Indonesia dan Malaysia di tengah keheningan ASEAN semakin menunjukkan tidak relevannya asosiasi (Sukma 2005).

            ASEAN memiliki sedikit pengaruh dalam perselisihan bilateral selain dari keinginan para negara anggota. Dari hal tersebut menunjukkan bahwa Asia Tenggara sangat minim menempatkan sengketa wilayah mereka ke dalam organisasi internasional. Fakta bahwa ASEAN belum menyepakati rincian kode etik di Laut Cina Selatan bukan berarti organisasi berhenti berjalan. Kompleksitasnya persetujuan pada kerangka kerja peraturan untuk sengketa besar yang hanya melibatkan dua negara cukup mengejutkan negara lain. Malaysai dan Indonesia mencoba menemukan formula pengembangan standar perilaku di bawah perjanjian insiden laut (INCSEA) selama dua dekade. Malaysia telah berupaya menggunakan INCSEA dengan Indonesia sebagai model untuk perjanjian dengan negara tetangga lainnya, namun pada kemudian waktu perjanjian tersebut menjadi tidak jelas karena kedua negara gagal menyepakati di area mana ketentuan akan berlaku. Dalam kasus Laut Cina Selatan, hambatan itu perlu diatasi bukan hanya dengan dua negara melainkan empat negara anggota ASEAN.

            Meskipun terdapat ketidaksepakatan tentang hal tertentu, mungkin prestasi ASEAN paling signifikan adalah membiarkan perbedaan pendapat ini mempengaruhi hubungan secara umum yang dikenal dengan sastra ASEAN sebagai “tanda kurung” (Leifer 1999:26). Berkat kapasitas tanda kurung ASEAN, tidak mungkin adanya perbedaan preferensi tentang penanganan sengketa Laut Cina Selatan yang akan mempengaruhi cara penanganan sengketa territorial lainnya.

            Banyak sarjana ASEAN berpendapat bahwa politik internasional Asia Tenggara terbaik dalam menggambarkan jaringan kerja sama bilateral yang tumpang tindih. (Caballero-Anthony 2005:199) Manajemen perselisihan wilayah antar negara ASEAN telah menjadi urusan bilateral di masa lalu yang sekarang memungkinkan akan tetap sama di masa depan. Akibatnya, penulis berpendapat bahwa peran kekuatan besar dan ASEAN tidak boleh dilebih-lebihkan. Lalu perlu pertimbangan bersama dengan faktor lain yang menjelaskan mengapa sengketa wilayah pada umunya dikelola secara damai dan jarang menyebabkan konflik kekerasan di wilayah tersebut. Pada tingkat global, hambatan untuk mengklaim wilayah sangat sulit karena perkembangan hukum internasional dan lembaga multilateral melarang oerubahan paksa perbatasan internasional (Zacher 2001). Faktor lain yang mendukung adalah penanganan tanpa kekerasan terhadap konflik perbatasan ASEAN yang tidak mengembangkan militer yang siap untuk berperang di luar kecuali singapura. Pengelolaan wilayah kekurangan perang tidak sulit. Seperti pada bagian lain, penulis menunjukkan bahwa pernyataan berasalnya kasus Laut Cina Selatan tidak sesuai dengan kasus perselirihan lainnya di Asia Tenggara merupakan risiko dari penarikan kesimpulan yang salah.

 

Mengapa motif revisionism yang berlebihan dan politik internal?

Sengketa territorial umunya dikaitkan dengan niat buruk dan pembuat onar. Pihak yang bertikai sering saling menuduh dan berbohong mengenai motif ekspansi wilayah, namun ada juga persepsi lain yaitu konflik territorial sebenarnya tidak ada hubungannya dengan masalah territorial itu sendiri. Batas sengekata digunakan untuk tujuan politik internal. Johnston (2013) mendokumentasikan proses terjadinya konflik Laut Cina Selatan dan diambil kutipan: “Dalam beberapa tahun terakhir, telah menjadi umum untuk menggambarkan Republik Rakyat Tiongkok semakin asertif, […] Banyak yang percaya bahwa itu mencerminkan keputusan oleh kepemimpinan puncak setelah krisis keuangan tahun 2008-2009 menjadi lebih proaktif dalam menantang kepentingan AS.”  Johnston melanjutkan untuk menunjukkan ketegasan yang diamati sebenarnya bukan hal baru. Johnston meneliti terkait klaim meningkatnya nasionalisme Cina bertanggung jawab atas diplomasi koersif Cina di Laut Cina Selatan yang bukan variabel penting yang dapat menghambat kebijakan luar negeri Tiongkok. Meski demikian wacana dominan tentang strategi Cina yang asertif di Laut Cina Selatan meninggalkan tanda tentang bagaimana kritik dapat membatasi masalah sengketa wilayah lainnya termasuk di Asia Tenggara. Paling tidak, Johnston memberi kesimpulan mengenai asumsi kearifan konvensional dan gambar komedi yang beredar di media, di antara para pakar dan akademisi sedang berkembang pesat. Di produksi ulang di era media digital dan sosial yang memberi efek persepsi negatif pada pengadaan kerja sama, sehingga ada baiknya menanyakan lebih dahulu apa motif dalam konflik territorial.

Fakta pertama yang perlu digarisbawahi bahwa perselisihan atas kepemilikan batas teritorial hampir tidak dapat dihindari dalam dunia yang terorganisir kedalam unit-unit yang ditentukan secara teritorial. Faktanya, konflik atas batas yurisdiksi dan kedaulatan di darat, laut, dan udara sedikit umum dan cenderung bertahan (Hassner 2006). Sebuah survei global mengenai kemajuan proses penetapan batas laut menunjukkan tidak ada satupun kelompok negara dengan angka jumlah pembatasan laut yang lebih tingi dapat dibandingkan dengan yang lain (ASIL 2017). Bagaimanapun, tantangan akan penyelesaian perbatasan bisa menjadi lebih mengkhawatirkan bagi negara-negara yang relatif muda. Seperti yang dijelaskan diatas, ketika negara-negara di Asia Tenggara meraih kemerdekaan mereka, tugas-tugas yang mereka hadapi atas kemerdekaan sangat banyak, sementara kapasitas mereka untuk memeriksa kawasan, merevisi kembali standar Internasional, dan negosiasi dengan negara tetangga mereka sangat jarang. Bahkan Thailand, yang telah memiliki unit administrasi yang bertanggung jawab atas perbatasan, terpaksa menggunakan arsip di Eropa untuk melaksanakan pembatasan yang diperlukan. Beberapa dari permasalahan yang masih hingga saat ini, dengan Kamboja mungkin menghadapi masalah yang paling berat pasca kurun beberapa dekade berlangsung perang saudara yang mengakibatkan tewasnya ahli perbatasan mereka dan hampir seluruh bukti dokumenter dihancurkan. Di sepanjang perbatasan Myanmar, terbentang luas, perbatasan yang secara tegas tidak dapat diakses sejak mereka berada dibawah kendali pemberontak dan tekanan perlawanan kelompok-kelompok minoritas.

            Ketidakpahaman mengenai masalah yang berakar dari perbatasan yang tidak terjelaskan dengan mudah menyebabkan penilaian yang kurang dari informasi yang ada. Komentar masih menunjukkan bahwa ingatan-ingatan dari dua perang yang terjadi di Asia Tenggara pada masa lalu yang mana motif ekspansionis telah diredam masing-masing terhadap Indonesia dan Vietnam. Namun, dalam kedua kasus tersebut, tidak terdapat bukti yang mampu menentukan (Gelling 2009). Dalam kasus di Indonesia, Konfrontasi, selama tiga tahun, agresi berintensitas rendah dikerahkan terhadap pembentukan Malaysia (1963-1966), yang di ingat terutama diluar kawasan sebagai sebuah upaya Presiden Soekarno untuk menciptakan Indonesia Raya yang mencakup seluruh kawasan Melayu tersebut. Akan tetapi, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa kepentingan akan teritorial mengambil peran penting dalam konflik ini (Mackie 1974). Eksistensi motif ekspansionis tampaknya agak tidak mungkin mengingat bahwa pada saat itu, gagasan Indonesia Raya telah menghilang dari wacana yang relevan (Tarling 2004: 151). Alih-alih, Indonesia menjadi sebuah contoh negara yang memberikan konsesi substantif dalam negosiasi batas untuk kepentingan keduanya dalam perjanjian.

            Kasus lain yang menjadi simbol dari dugaan revisionisme yakni Vietnam, sebuah negara yang telah meluaskan wilayah ke selatan selama berabad-abad hanya untuk dihentikan oleh Kolonialisme bangsa Eropa. Menjelang invasi Vietnam ke Demokratik Kamboja pada Desember 1978, konflik perbatasan atas batas darat dan pulau-pulau di Teluk Thailand menjadi pemicu bentrokan yang hebat. Tetapi setelah fase awal konflik, pertanyaan seputar batas wilayah memudar menjadi sebuah latar belakang (Heder 1979). Pada tahapan ini, para pengamat setuju bahwa Khmer Merah Kamboja dan bukanlah Vietnam yang justru membawa konflik pada titik yang tak dapat kembali (Heder 1979); Chanda 1986; 206). Pasca Hanoi menggantikan Khmer Merah dengan rezim boneka baru, kedua pihak menandatangani sejumlah perjanjian perbatasan. Akan tetapi, bagaimanapun, tidak ada satupun dari hal ini mendukung satu pihak atau pihak lain dengan cara yang jelas.

Serangkaian klaim lain yang harus ditanggapi dengan hati-hati bahwa para pemimpin negara kebanyakan telah memanfaatkan konflik perbatasan untuk mengalihkan perhatian publik dari permasalahan internal (suatu negara) atau untuk menggalang dukungan publik untuk memperkuat legitimasi mereka. Kedua argumen tersebut di dasarkan pada intuisi dan wawasan yang diteliti dengan baik bahwa sebuah penciptaan out-group dapat menumbuhkan kohesi in-group feeling. Meskipun mudah untuk mengidentifikasi pemilu yang akan datang, sebuah skandal politik, atau tanda-tanda krisis ekonomi permasalahan batas teritorial berubah menjadi isu yang begitu kontroversi di kalangan publik, sering kali terlupa bahwa penciptaan musuh luar merupakan strategi yang berhasil hanya jika suatu kondisi in-group telah ada (Stein 1976). Pada umumnya negara-negara di Asia Tenggara bukanlah negara kuat dan inklusif yang sesuai dengan karakteristik ini, serta tidak ada alasan untuk mempercayai bahwa fakta ini tak pernah diperhatikan oleh elit pemerintahannya (Alagappa 1995). Bahkan untuk menjaga ketertiban internal dan eksternal, pemerintah di Asia Tenggara lebih mengandalkan membina hubungan dengan negara-negara tetangga satu sama lain daripada menggerakkan konflik bersama. Mungkin, satu-satunya kasus yang mungkin populer untuk mengidentifikasi kebencian antara dua negara Asia Tenggara yakni sikap anti-Vietnam yang lazim di Kamboja, tapi dalam hal ini pihak antagonis tidak dapat ditelusuri oleh strategi mobilisasi pemerintah.

Tidak ada keraguan bahwa pemerintah telah mengambil keuntungan dalam perselisihan yang menggambarkan diri mereka sebagai terdakwa dari penyebab “nasional”. Namun, untuk mengatakan bahwa para pemimpin sengaja menciptakan untuk tujuan dalam negeri melebihi pengaruh politik dari sengketa perbatasan. Ketika pemerintah telah membangkitkan hal tersebut untuk mendongkrak dukungan rakyat, mereka melakukannya dengan strategi yang terukur. Memperhatikan konflik yang disebutkan sebelumnya, konflik Thailand-Kamboja mengenai konflik perbatasan di Kuil Preah Vihear. Pada saat ketegangan antara kedua belah negara semakin memuncak, Perdana Menteri Kamboja Hun Sen mempermalukan pemerintah Thailand Abhisit Vejjajiva melalui langkah provokatif secara terang-terangan dengan menunjuk lawan politik Abhisit, yakni Thaksin Shinawatra sebagai penasihat pribadinya (Phnom Penh Post 2009). Pada bulan-bulan sebelumnya, perselisihan tersebut dengan jelas meningkatkan popularitas Hunsen, tetapi menyadari dengan baik bahaya yang ditunjukkan manifestasi masa sementara dari pihak nasionalisme yang agresif, dia mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa konflik tidak akan meningkat diluar kendali. Segera setelah hal tersebut dalam sebuah konferensi pers, Hun Sen meredakan sentimen publik, menjelaskan bahwa setelah perbatasan yang disengketakan (kedua pihak), “kami memutuskan untuk menarik pasukan payung dengan nomor 911 dari Preah Vihear ke barak satu minggu dari sekarang [akan ada penarikan seluruhnya]” (The Nation 2010).

Politik domestik juga sering diungkit dalam kasus perselisihan antara Indonesia dan Malaysia (Chong 2012), termasuk yang menyebutkan serangkaian insiden terhadap batas-batas laut yang belum ditentukan. Perselisihan-perselisihan ini membuat pemrotes turun ke jalanan di Ibukota Indonesia Jakarta secara teratur, tetapi pada Mei 2009 agitasi publik kian dipicu ketika pers memberitakan langsung dari kapal-kapal angkatan laut yang berjaga di daerah konflik. Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, seorang pensiunan jendral militer, telah berulang dikritik karena bersikap tidak tegas terhadap Malaysia (Jakarta Post 2009). Namun demikian, ia melarang kontak langsung angkatan laut dengan media dan ketegangan berangsung-angsur surut.

Terdapat contoh lain dimana, jauh dari tujuan penggunaan kepentingan politik, pemerintah benar-benar menekankan permasalahan teritorial sebelum mereka bisa menjadi perhatian publik. Dalam beberapa kasus, sensor pribadi terhadap pers menjadi sebab dimana pemerintah sangat terbantu. Salah satu contoh yakni demokrasi otoriter Singapura (Slater 2015), dimana masyarakat secara terkondisi dicegah memainkan peran yang berarti dalam pembuatan kebijakan luar negeri di Singapura. Ketika Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dipanggil untuk menengahi sebuah kasus atas poros kemaritiman Singapura yang disengketakan Malaysia, dalam lima tahun proses (2003-2008) berlalu bergitu saja dengan hampir tiada komentar di media. Dalam kasus kasus yang lain, Brunei dan Malaysia menyimpan satu set surat resmi yang tersembunyi : ditandatangani pada 2009, perjanjian tersebut menentukan pedoman-pedoman dan posisi kedua negara dalam negosiasi kemaritiman dan perbatasan darat di masa depan. Kesimpulannya, sementara pemerintah menyambut dampak dari perselisihan wilayah yang terkadang terjadi, mereka juga berhati-hati dalam menggunakannya sebagai instrumen politik. Bagian berikutnya, pembahasan akan menguraikan cara penanganan sengketa yang ada.

Bagaimana? “ASEAN-Way” dan Asia Tenggara Tidak Cukup Anti-Legalistik dalam Menangani Konflik

Sejalan dengan klaim yang dibahas sejauh ini, argumentasi mengenai bagaimana manajemen sengketa teritorial di Asia Tenggara cenderung bertendensi mengitu interpretasi dominan dari Kasus yang terjadi di Laut Cina Selatan. Kendala utama untuk turut memajukan proses sengketa Laut Cina Selatan adalah ketidakjelasan klaim Cina (RRT), yang bermula dari keberadaan garis nine-dash nya. Ini, bersama dengan penolakan Cina terhadap putusan pengadilan permanen Arbitrase 2016 dalam kasus yang diajukan ke pengadilan oleh Filipina, memperkuat persepsi lama (Barat) tentang Cina sebagai negara dimana hukum dan produk hukum yang ada memiliki pengaruh yang kecil secara signifikan (Ruskola 2013). Persepsi serupa pun telah ada tentang negara Asia lainnya, terutama pada kawasan Asia Tenggara, yang mana dikatakan telah mengembangkan cara pengelolaan konflik secara informal dan anti-legalistik yang lazim disebut sebagai bagian dari “ASEAN-Way” (Acharya 1998). Dengan demikian, ketika Filipina memutuskan pada 2013 lalu untuk menggunakan Arbitrase mengenai perbatasan lautnya dengan Cina, langkah Manila dipandang sebagai upaya dari kebiasan pendekatan gaya ASEAN, termasuk juga negara lainnya dalam organisasi dimaksud. Akan tetapi, dengan cara pandang manajemen penyelesaian konflik yang diterapkan tersebut, negara-negara di Asia Tenggara nampaknya kurang anti-legalistik daripada apa yang ada dalam ASEAN Way.

Sebelum membahas mengenai informalitas “ASEAN-Way”, diperlukan sebuah pendefinisian lebih khusus mengenai apa “ASEAN-Way” itu serta apakah ASEAN telah mengambil peran dalam upaya pengelolaan perselisihan yang ada. Berbeda dengan diskusi di atas, dimana saya berpendapat bahwa ASEAN tidak memiliki peran sebagai aktor independen dalam konflik antar negara yang terjadi, dampak yng dianggap berasal dari ASEAN-Way secara bertahap merubah preferensi dan identitas anggotanya (Ba 2005). Apakah ASEAN memiliki sebuah mode kerja tertentu yang mensosialisasikan pada negara untuk menggunakan cara-cara informal dalam pengelolaan konflik?

ASEAN-Way mengacu pada sebuah prosedur dan prinsip non-intervensi dalam urusan negara lain, langkah non-formal dan musyawarah sebagai instrumen untuk pengambilan kepurusan, dan menyelamatkan nama baik untuk menjaga martabat negara lain (Busse 1999; Kivimaki 2001). Untuk memahami relevansi konsep yang terkenal saat ini, perlu diingat kembali bahwa asal usul istilah yang sering terlupakan kembali pada generasi pertama para pemimpin ASEAN, yang bagi ASEAN Way menggambarkan ketidakmampuan asosiasi untuk menciptakan sebuah kepemimpinan. Dipaksa untuk beroperasi atas dasar basis common denominator minumun, diplomat ASEAN mengadopsi istilah ASEAN-Way—bukan tanpa ironi –mengacu pada diri mereka sendiri. Konotasi negatifnya tidak berdiri sendiri, saat ini pemerintah memiliki sebuah konsep pemersatu yang berfungsi untuk mencegah rayuan potensial oleh individu yang menyimpang dari garis mayoritas.

Pada tahun 1990, akademisi tertarik pada gagasan ASEAN-Way tentang teori identitas dalam politik Internasional (Acharya 2001; See Seng Tan 2009; Roberts 2011). Istilah ini mendapatkan respon positif, karena terkait langsung dengan kesuksesan ASEAN pasca perang dingin dan perluasan organisasi mereka dari semula enam anggota menjadi 10 negara anggota, yang kemudian menetapkan tujuan besarnya menjadi sebuah komunitas negara-negara di bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya (ASEAN 1997). Karena kedekatan antara akademisi dan politik yang khas di Asia Tenggara, ASEAN-Way dengan segala berkonotasi positif tersebut dengan cepat dimasukkan kedalam kurikulum pelatihan bagi diplomat-diplomat masa depan dalam kawasan tersebut. Selanjutnya, para pengamat tidak bisa mengabaikan pentingnya para pembuat kebijakan ASEAN yang terikat pada konsensus, saling menghormati, dan dialog. Meskipun demikian, tingkat partikularisme ASEAN-Way dan kekuatan penjelasnya yang sesuai tidak boleh ditafsirkan terlalu tinggi.

Seperti yang disampaikan Acharya sejak awal, beberapa dari prinsip ASEAN-Way merupakan prinsip dasar sistem negara modern (Acharya 2001: 51-56). Yakni prinsip non-intervensi, yang mana, di atas itu, telah ditafsirkan secara fleksibel di Asia Tenggara (Jones 2012). Demikian pula, musyawarah dan harga diri selalu menjadi milik standar diplomat yang profesional di dunia. ASEAN telah abstain dari pemungutan suara formal, beberapa telah lama dipraktikkan di Mercosur Amerika Selatan (Pasar Umum Selatan) dan bahkan di PBB sekalipun. Beberapa bukti telah gagal menunjukkan bahwa negara-negara di Asia Tenggara menghindari instrumen hukum umum—dan, dalam sengketa perbatasan, lebih banyak dari yang negara lain lakukan. Sejak kemerdekaan, masa depan anggota ASEAN bergantung pada hukum internasional. Indonesia dan Filipina menandatangani “Perjanjian Persahabatan”, yang Pasal II mengatur bahwa konflik antara kedua negara yang tidak dapat diselesaikan dengan diplomasi atau mediasi harus dibawa ke Mahkamah Pidana Internasional.

Negara Asia Tenggara pertama yang menerima yurisdiksi ICJ dalam konflik territorial adalah Kamboja dan Thailand pada tahun 1962. Enam dekade kemudian, pada 2011 Kamboja meminta Mahkamah untuk menafsirkan putusan. Kemudian Kamboja dan Thailand bertemu lagi di Den Haag. Saat perang dingin, negara-negara Asia Tengara menahan diri untuk tidak menggunakan sarana legal dalam resolusi konflik. Namun karena politisasi yang terjadi pada pengadilan nasional dan internasional menyebabkan dominasi mengenai persaingan negara adidaya.

Seperti yang telah disebutkan diatas, sejak 1990-an beberapa negara di kawasan Asia Tenggara memutuskan untuk membawa perselisihan mereka ke badan hukum. Meskipun litigasi itu sendiri merupakan pengalaman baru bagi Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Namun ke tiga negara tersebut memiliki pengetahuan praktis dalam menggunakan hukum internasional dalam mengejar tujuan kebijakan luar negeri mereka. Salah satu contoh adalah Tommy Koh dari Singapura, seorang pelopor dunia non-barat yang berkontribusi pada hukum internasional. Di antara yang lainnya Koh memiliki pengaruh yang tinggi yaitu Ia sebagai Ketua Konferensi PBB ketiga mengenai hukum laut (1980 – 1982), yang mana Asia Tenggara menjadi terkenal karena kontribusinya pada keputusan tonggak konseptual. Dalam negosiasi Indonesia dan Filipina bersama dengan Fiji dan Mauritius mencapaian pengakuan formal terhadap konsep negara kepulauan yang kini menjadi dasar definisi batas maritim mereka.

Perlu dicatat bahwa keputusan Indonesia untuk membawa pulau-pulau perselisihan dengan Malaysia pada ICJ diambil oleh pemimpin jangka panjang yaitu Suharto yang menurut laporan Ia mengabaikan nasihat dari kementrian luar negeri. Suharto adalah perwakilan terkemuka dari elit Jawa Indonesia, yang dikatakan telah mengklaim mengenai cara pengelolaan konflik ASEAN berdasarkan budaya konsensusnya (Leifer 2000:25). Pada dasarnya cara ASEAN memang kurang anti-legalis daripada yang diasumsikan pada umunya. Namun banyak yang mempertanyakan mengapa informalitas lebih digemari dalam wacana walaupun pada praktiknya tidak demikian. Melihat kembali pada asal-usul ASEAN yang menunjukkan bahwa terdapat semangat Bandung dan masih hidupnya gerakan anti kolonial yang membingkai hukum internasional sebagai instrumen yang pernah mendukung dominasi barat. Bagaimanapun juga apabila ASEAN memilih konstruksi identitas yang tidak menekankan legalisasi dan sarana formal untuk solusi sengketa antar negara, tetap tidak akan mencegah mereka mengandalkan hukum internasional dalam menangani perselisihan territorial.

Kesimpulan:

Tujuan penulis dalam artikel ini adalah untuk menambahkan dan tidak menyangkal persepsi umum tentang pengelolaan konflik territorial di Asia Tenggara. Penulsi berpendapat berdasarkan pengamatan pada sengketa Laut Cina Selatan dan serangkaian konflik yang tidak dapat dibandingkan untuk kasus sengketa territorial lainnya di wilayah Asia Tenggara. Perlu untuk membedakan antara peran tokoh eksternal dan ASEAN yang berperan pada keamanan Asia Tenggara secara umum dan dalam perselisihan bilateral secara khusus. Bukan pula kekuatan besar atau ASEAN sebagai tokoh independen sebagai kunci untuk menjelaskan bagaimana masalah territorial Asia Tenggara dikelola. Terutama kritik mengenai kurangnya tindakan ASEAN dalam permasalahan territorial harus diukur dari tujuan organisasi yang dinyatakan secara umum untuk mengecualikan masalah bilateral. Persepsi kedua yaitu pandangan bahwa konflik territorial didorong oleh niat buruk yang menjadi motif ekspansi atau untuk menciptakan musuh eksternal demi meningkatkan peringkat kesepakatan domestic. Politisi Asia Tenggara cenderung mengeksploitasi masalah untuk keperluan internal. Namun konflik pengalihan belum menjadi norma ASEAN karena dikhawatirkan akan semakin banyak bentrokan bersenjata terjadi di wilayah Asia Tenggara. Tujuan keamanan negara Asia Tenggara adalah untuk menjaga stabilitas internal.

Kemudian, bagaimana negara mengatur sengketa territorial sebelum mereka dapat meningkatkannya ke ICJ? Penulis menyimpulkan persepsi umum bahwa terdapat cara pengelolaan konflik yang baik di Asia Tenggara yang dicirikan dengan pendekatan informal, anti-legalisasi. Namun mengadopsi perspektif yang kurang memberi peluang, penulis memberikan opini yang menunjukkan Asia Tenggara sangat ragu untuk menggunakan instrumen penyelesaian sengketa hukum. Terdapat sedikit keraguan bahwa konflik Laut Cina Selatan akan mendominasi keamanan kawasan Asia Tenggara selama bertahun-tahun. Dalam kasus tersebut, negara penutut ASEAN telah berpedoman pada perjanjian tidak tertulis mereka bahwa beberapa bentuk penyelesaian perlu dicapai dengan China sebelum segala upaya dilakukan untuk menyelesaikan klaim yang tumpang tindih di antara mereka sendiri. Dengan demikian perselisihan ASEAN di Laut Cina Selatan memungkinkan untuk tetap aktif pada waktu yang akan datang.

Terdapat sedikit saran mengenai perkembangan Laut Cina Selatan akan memiliki dampak yang signifikan pada bagaimana sengketa territorial lainnya di wilayah Asia Tenggara akan ditangani. Sejumlah kasus belum terselesaikan dan mungkin saja akan terjadi perselisihan baru. Salah satu tantangan besar untuk Asia Tenggara adalah mengenai kasus perbatasan antara Myanmar dengan Laos dan Thailand. Jika Myanmar bergerak maju ke dalam transisi politiknya, harus melakukan tugas yang sulit mengenai pembatasan wilayah yang selama beberapa dekade telah dilakukan dengan kekerasan antara pasukan bersenjata dan criminal. Jika proses mengikuti pola yang sama, akan menjadi proses bilateral ketat yang diatur oleh keinginan tidak membiarkan perselisihan meningkat. Karena terkadang politik lebih komplek dan bagaimana pun juga ada baiknya untuk belajar dari pengalaman dengan pribahasa “pagar yang baik akan membuat tetangga yang baik pula.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Perbandingan Sistem Ekonomi

  “SISTEM EKONOMI ISLAM DALAM PERBANDINGAN  DENGAN EKONOMI KAPITALIS DAN SOSIALIS” Satryo Sasono 1 1.     Sistem Ekonomi Kapitalis Sis...