Rabu, 03 Juni 2020

KONTROVERSI PENGESAHAN RUU “SAPU JAGAD” (OMNIBUS LAW) : Antara Mandat Rakyat atau Kepentingan Birokrat ?


Satryo Sasono

Fakultas Hukum UNS

Masih hangat di telinga publik membincangkan isu sensitif hukum terkait Omnibus Law, yakni menggabungkan dan menyederhanakan sejumlah undang-undang sektoral menjadi satu payung undang-undang. Salah satu isu Omnibus Law yang menjadi perhatian publik adalah terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja) yang berbahaya bila disahkan menjadi Undang-undang. Mengapa demikian ?

Karena substansi utama dari RUU Cipta Kerja menabrak prinsip-prinsip Negara hukum yang demokratis. Dimana kewenangan Presiden akan sangat eksesif (berlebihan), dalam Pasal 170 ayat (1) dalam Bab XII yang menyebutkan, bahwa pemerintah pusat berwenang mengubah ketentuan yang ada di UU tersebut dan/atau mengubah ketentuan dalam UU yang tidak diubah dalam UU tersebut. Kemudian Pasal 170 ayat (2) disebutkan, perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah (PP). Pada ayat (3) dalam pasal yang sama dijelaskan dalam rangka penetapan PP, pemerintah pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan DPR-RI.

Pasal ini jelas memberikan wewenang yang begitu eksesif kepada Presiden untuk dapat mengubah UU dengan PP. Pengaturan ini tidak lazim dalam system ketatanegaraan yang akan berpotensi menjerumuskan system pemerintahan presidensial menjadi absolu-otoritarian serta akan mengubah model legislasi dari partisipatif ke tertutup. Selain itu, juga akan menabrak desain hierarki norma peraturan perundang-undangan berdasarkan UU No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dimana PP (Peraturan Pemerintah) berada di bawah UU (Undang-Undang). Jelas berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU 12 Tahun 2011 dinyatakan bahwa antara Undang-undang dan Peraturan Pemerintah adalah dua jenis peraturan yang hierarkinya tidak setingkat atau sejajar, dimana hierarki Undang-undang lebih tinggi daripada PP itu sendiri. Sehingga PP seharusnya tidak bisa mengubah UU.

Secara filosofis Undang-Undang adalah produk hokum yang dibuat secara bersama antara eksekutif dan legislative sesuai ketentuan Pasal 20 UUD NRI 1945. Kendati RUU dapat diusulkan dari pintu Presiden maupun pintu DPR. Namun produk UU haruslah dibahas bersama dan disahkan lewat paripurna DPR-RI. Demikian pula penggantian atau perubahan norma sebuah undang-undang hanya dapat dilakukan melalui satu pintu, yakni uji materi ke Mahkamah Konstitusi jika suatu UU bertentangan dengan Konstitusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Artinya, tidak bisa UU diubah oleh Presiden melalui sebuah Peraturan Pemerintah (PP).

Ketentuan Pasal 170 RUU Cipta Kerja ini juga bertentangan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menentukan Presiden menetapkan peraturan pemerintah (PP) untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya. Sehingga karakter PP hanyalah peraturan perundang-undangan yang bersifat delegataris, mendapatkan delegasi dari UU. Karena itu, PP hanya mengatur hal-hal teknis sebagaimana perintah UU. Itulah menjadi sebab PP tidak boleh berisi tentang pengaturan norma yang sama dengan UU karena kedudukan PP berada di bawah UU. Selain itu, karakteristik UU berbeda dengan karakteristik PP, dimana UU berisi tentang norma yang membatasi hak warga Negara sehingga diperlukan persetujuan DPR dalam pengaturan pembatasan Hak. Sedangkan PP berisi tentang pengaturan teknis yang sifatnya hanya menjalankan norma yang belum jelas yang tertuang dalam delegasi UU.

Maksud “TERSELUBUNG” Pembahasan ditengah Pandemi COVID-19

Situasi darurat akibat pandemic virus korona tidak menyurutkan niat DPR-RI untuk menyetujui sejumlah pembahasan RUU kontroversial, tidak terkecuali pembasahasan mengenai Omnibus Law (Cipta Kerja). Rapat Paripurna DPR telah membahas lanjutan RUU ini, tentu saja kontroversi ini mengundang protes banyak public. Masyarakat menilai DPR tidak etis dan tidak peka terhadap situasi ancaman bahaya penyebaran COVID-19 di Indonesia. Terlebih lagi, semua pihak saat ini berfokus pada upaya menghadapi pandemic berbahaya ini.

Terdapat 2 hal yang perlu menjadi catatan atas langkah DPR yang membahas RUU Cipta Kerja Omnibus Law ditengah situasi yang darurat. Pertama, DPR dinilai seakan menyangkal Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan COVID-19, yang di ikuti pula dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka percepatan Penanganan COVID-19. Rakyat dengan keras dan tegas diminta untuk mematuhi pembatasan social ini, sementara wakil rakyat mereka di DPR-RI justru dengan santai melanggarnya.

Kedua, alasan procedural menyangkut teknis terkait harapan pembentukan hokum merupakan argument legalisme. Hal ini sama sekali tidak mempertimbangkan konteks kedaruratan kesehatan masyarakat. Tidak terhindarkan kecurigaan public atas dugaan agenda terselubung dibalik proses percepatan pembahasan RUU kontroversial tersebut.

Dalam teori ketatanegaraan, khususnya perundang-undangan realitas pembentukan hokum tanpa mempertimbangkan konteks situasinya menjadi objek kajian dengan pendekatan legisprudensi (legisprudence), dimana suatu pendekatan dengan mempertimbangan kearifan sekaligus partisipasi social dalam proses pembentukan hokum oleh legislator.

Peraturan yang saling Berkonflik dan Inkonsistensi Norma

Di Indonesia saat ini terdapat ratusan undang-undang terkait dengan dunia bisnis yang saling berkonflik. Berdasarkan data  Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (2018) terdapat 15 undang-undang berkaitan dengan investasi; 10 undang-undang berkaitan dengan memulai bisnis. Sebanyak 44 undang-undang terkait dengan perizinan berusaha; 10 undang-undang terkait tata ruang dan pertanahan; 23 undang-undang terkait dengan sarana-prasarana bisnis, ketenagakerjaan, insentif fasilitasi, dan kewajiban pembayaran pendapatan negara bukan pajak atau pajak daerah dan retribusi daerah; dan 50 undang-undang berkaitan dengan penegakan hukum.

Semua undang-undang itu dibuat pada era 1960-an hingga 2000-an yang sudah tak mampu menjawab aneka problem dunia usaha, sehingga malah menghambat investasi dan menyulitkan pertumbuhan ekonomi nasional. Tepatlah kritik dari Global Competitiveness Report (2019) yang menyatakan peraturan di Indonesia rendah kualitasnya dalam daya dukung terhadap  kemudahan berusaha (easy of doing bussiness/EoDB). Peringkat EoDB Indonesia (ke-73)  kalah jauh dalam hal peringkat indikator starting a business dari Singapura (ke-3), Malaysia (ke-15), dan Vietnam (ke-69).

Dalam undang-undang ini, tidak disebutkan atau tidak mengenal adanya istilah UU payung atau omnibus law. Untuk itu, secara formil proses pembentukan RUU omnibus law dinilai masih perlu penyelasaian dalam alur pembentukan peraturan perundang-undangan. Omnibus law merupakan produk hukum yang berupaya membuat suatu undang-undang yang dapat mencabut atau mengamandemen beberapa undang-undang sekaligus. Secara materil, landasan filosofis dari RUU omnibus law sendiri memiliki tujuan yang baik yakni menyelaraskan berbagai aturan yang inkonsisten, menyederhanakan regulasi, mempermudah investasi, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi demi kesejahteraan masyarakat.

Niat pemerintah dalam RUU omnibus law sendiri pada dasarnya baik, yakni guna menjalankan kewajibannya untuk menyejahterakan rakyat sebagaimana amanat konstitusi. Namun, secara materiil, pemerintah semestinya memperhatikan berbagai substansi pengaturan terkait kewenangan dalam konteks otonomi daerah, etika dan daya dukung lingkungan hidup, hak-hak buruh, dan lain-lain yang disoroti oleh berbagai pihak dalam mengkaji RUU omnibus law ini. Kontroversi di kalangan masyarakat tentunya perlu direspons positif oleh pemerintah dan DPR agar RUU omnibus law ini dapat menjadi regulasi yang progresif memberi solusi bagi peningkatan perekonomian dan kesejahteraan bangsa tanpa mencederai hak-hak politik dan ekonomi rakyat. Untuk itu, penulis mendorong agar pembentukan  undang-undang ini melibatkan partisipasi publik secara massif.

Hal ini penting dilakukan sebagai upaya legitimasi hukum dan politik dalam konsep negara  hukum yang demokratis. Oleh karenanya, proses ini memerlukan transparansi dan akuntabilitas publik melalui ruang-ruang dialogis yang intens antara pemerintah, DPR, dan berbagai pemangku kepentingan. Untuk merealisasikan idealisasi ini di antaranya;  pertama, dalam pembentukan RUU omnibus law ini mesti mentaati berbagai asas maupun tahapan formil pembentukan peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019.

Ancaman Merugikan Pekerja “Kantoran”

Ancaman pertama yang muncul akibat dari RUU Cipta Kerja adalah pekerja kantoran bisa dikontrak seumur hidup karena tidak ada kewajiban perusahaan mengangkat jadi pegawai tetap. Hal itu ditunjukan dengan dihapusnya Pasal 59 dalam UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 59 ayat 1 berbunyi "Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu...."

Ayat 4 menegaskan "Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun."  Pasal yang melindungi pekerja agar diangkat jadi karyawan tetap, tapi dihapus. Akibatnya pekerja bisa dikontrak seumur hidup, permanently temporary.

Potensi “PHK” Besar-Besaran

Status karyawan kontrak berpotensi menimbulkan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara semena-mena, dengan alasan kontrak habis. Selain itu, potensi PHK besar-besaran juga, berpotensi terjadi karena munculnya pasal karet dalam RUU Cipta Kerja, yaitu Pasal 154 A dimana salah satu alasan pemutusan hubungan kerja dapat terjadi dengan alasan efisiensi. Selama ini efisiensi selalu jadi kedok perusahan melakukan pemecatan semena-mena. Di Omnibus Law malah dilegitimasi dan dipertegas.

Berdampak “BERANGUS” bagi Buruh

Rencana pemerintah melakukan deregulasi melalui omnibus law kembali mendapat penolakan dari kalangan buruh. Sebab, substansi RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja potensi menurunkan kesejahteraan bagi buruh/pekerja seluruh Indonesia. Sedikitnya ada 6 dampak buruk omnibus law bagi kaum pekerja di Indonesia.

Pertama, omnibus-law rencananya akan menghilangkan upah minimum dan menggantinya dengan penerapan upah per jam. Meskipun ada pernyataan yang menyebut buruh dengan jam kerja minimal 40 jam sepekan akan mendapat upah seperti biasa, tapi bagi buruh dengan jam kerja kurang dari 40 jam akan mendapat upah di bawah minimum. Belum lagi ketika pekerja sakit, menjalankan ibadah sesuai kewajiban agamanya, cuti melahirkan; maka upahnya tidak lagi dibayar karena pada saat itu dianggap tidak bekerja.

Kedua, menghilangkan pesangon. UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur besaran pesangon maksimal 9 bulan dan dapat dikalikan 2 untuk pemutusan hubungan kerja (PHK) jenis tertentu, sehingga totalnya bisa mendapat 18 bulan upah akan benar-benar dihilangkan dalam pengaturan RUU Cipta Kerja ini. Selain itu, ada penghargaan masa kerja maksimal 10 bulan upah dan penggantian hak minimal 15 persen dari total pesangon dan/atau penghargaan masa kerja. Namun, melalui RUU Omnibus Law, pemerintah berencana memangkas pesangon menjadi tunjangan PHK sebesar 6 bulan upah.

Ketiga, fleksibilitas pasar kerja dan perluasan outsourcing. Menurut Iqbal, omnibus law akan memperkenalkan istilah baru yaitu fleksibilitas pasar kerja. Dia menerangkan fleksibilitas pasar kerja berarti tidak ada kepastian kerja dan pengangkatan status menjadi karyawan tetap atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Selaras dengan itu, jenis pekerjaan yang bisa di-outsourcing akan diperluas, tidak lagi 5 jenis pekerjaan seperti yang berlaku saat ini. Artinya, masa depan buruh semakin tidak jelas. Mulai dari hubungan kerjanya fleksibel yang artinya mudah kena PHK, hingga tidak ada lagi jaring pengaman upah minimum, dan pesangon dihapus

Keempat, omnibus law akan membuka ruang besar tenaga kerja asing (TKA) tidak berketerampilan (unskill) untuk masuk dan bekerja di Indonesia. Padahal, UU Ketenagakerjaan mengatur jabatan yang boleh ditempati TKA yakni yang membutuhkan keterampilan tertentu yang belum dimiliki pekerja lokal. Jangka waktunya pun dibatasi maksimal 5 tahun dan harus didampingi pekerja lokal untuk transfer of knowledge.

Kelima, omnibus law potensi mengancam jaminan sosial yakni jaminan hari tua dan jaminan pensiun. Sistem kerja fleksibel membuat pekerja tidak bisa mendapat jaminan hari tua dan jaminan pensiun karena tidak ada kepastian pekerjaan. Sistem kerja fleksibel akan membuat buruh berpindah pekerjaan setiap tahun dengan upah beberapa jam dalam satu hari yang besarannya di bawah upah minimum.

Keenam, omnibus law dikhawatirkan menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha yang tidak memenuhi hak-hak buruh. Dampaknya, akan banyak hak buruh yang tidak dipenuhi pengusaha karena tidak ada efek jera melihat proses pembahasan omnibus law mengarah pada penghapusan atau penurunan besaran pesangon, pengupahan dan menyerahkan sistem ketenagakerjaan pada mekanisme bipartit yakni perundingan pengusaha dan buruh di tempat kerja. Ilhamsyah yakin perubahan yang akan dilakukan terhadap ketentuan pesangon itu bakal menciptakan banyak PHK massal.

Buruh yang menganggur akibat PHK massal ini tak lantas mendapatkan pekerjaan sehingga menjadi beban ekonomi dan sosial bagi masyarakat dan negara. Alih-alih cipta lapangan kerja, pengesahan omnibus law akan menciptakan gelombang PHK. Mengenai pengupahan, terdapat sebuah perubahan mekanisme perhitungan menjadi per jam. Ketentuan ini menjauhkan buruh dari kepastian kerja. Perhitungan upah per jam tidak tepat mengingat jaring pengaman sosial di Indonesia masih lemah. Upah minimum merupakan mekanisme yang tepat digunakan Indonesia untuk saat ini. kebijakan omnibus law di bidang ketenagakerjaan intinya membuat pasar kerja fleksibel dan melemahkan daya tawar buruh sehingga tidak bisa berserikat. Kebijakan itu nanti akan memudahkan buruh untuk terkena PHK atau dikurangi jam kerjanya. pemerintah berulang kali memberikan berbagai bentuk insentif bagi pengusaha. Tapi hal serupa tidak dilakukan untuk kalangan buruh. Buruh seolah menjadi tumbal untuk menggenjot ekonomi. Karena itu, KPBI menuntut pemerintah membatalkan pasal ketenagakerjaan dalam omnibus law dan RUU Cipta Lapangan Kerja.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Perbandingan Sistem Ekonomi

  “SISTEM EKONOMI ISLAM DALAM PERBANDINGAN  DENGAN EKONOMI KAPITALIS DAN SOSIALIS” Satryo Sasono 1 1.     Sistem Ekonomi Kapitalis Sis...