Satryo Sasono
Fakultas Hukum UNS
Masih
hangat di telinga publik membincangkan isu sensitif hukum terkait Omnibus Law,
yakni menggabungkan dan menyederhanakan sejumlah undang-undang sektoral menjadi
satu payung undang-undang. Salah satu isu Omnibus Law yang menjadi perhatian
publik adalah terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Cipta
Kerja) yang berbahaya bila disahkan menjadi Undang-undang. Mengapa demikian ?
Karena substansi utama dari RUU Cipta Kerja menabrak prinsip-prinsip Negara hukum yang demokratis. Dimana kewenangan Presiden akan sangat eksesif (berlebihan), dalam Pasal 170 ayat (1) dalam Bab XII yang menyebutkan, bahwa pemerintah pusat berwenang mengubah ketentuan yang ada di UU tersebut dan/atau mengubah ketentuan dalam UU yang tidak diubah dalam UU tersebut. Kemudian Pasal 170 ayat (2) disebutkan, perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah (PP). Pada ayat (3) dalam pasal yang sama dijelaskan dalam rangka penetapan PP, pemerintah pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan DPR-RI.
Pasal
ini jelas memberikan wewenang yang begitu eksesif kepada Presiden untuk dapat
mengubah UU dengan PP. Pengaturan ini tidak lazim dalam system ketatanegaraan
yang akan berpotensi menjerumuskan system pemerintahan presidensial menjadi
absolu-otoritarian serta akan mengubah model legislasi dari partisipatif ke
tertutup. Selain itu, juga akan menabrak desain hierarki norma peraturan
perundang-undangan berdasarkan UU No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, dimana PP (Peraturan Pemerintah) berada di bawah
UU (Undang-Undang). Jelas berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU 12 Tahun 2011
dinyatakan bahwa antara Undang-undang dan Peraturan Pemerintah adalah dua jenis
peraturan yang hierarkinya tidak setingkat atau sejajar, dimana hierarki Undang-undang
lebih tinggi daripada PP itu sendiri. Sehingga PP seharusnya tidak bisa
mengubah UU.
Secara
filosofis Undang-Undang adalah produk hokum yang dibuat secara bersama antara
eksekutif dan legislative sesuai ketentuan Pasal 20 UUD NRI 1945. Kendati RUU
dapat diusulkan dari pintu Presiden maupun pintu DPR. Namun produk UU haruslah
dibahas bersama dan disahkan lewat paripurna DPR-RI. Demikian pula penggantian
atau perubahan norma sebuah undang-undang hanya dapat dilakukan melalui satu
pintu, yakni uji materi ke Mahkamah Konstitusi jika suatu UU bertentangan
dengan Konstitusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Artinya, tidak
bisa UU diubah oleh Presiden melalui sebuah Peraturan Pemerintah (PP).
Ketentuan Pasal 170 RUU Cipta Kerja ini
juga bertentangan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menentukan
Presiden menetapkan peraturan pemerintah (PP) untuk menjalankan UU sebagaimana
mestinya. Sehingga karakter PP hanyalah peraturan perundang-undangan yang
bersifat delegataris, mendapatkan delegasi dari UU. Karena itu, PP hanya
mengatur hal-hal teknis sebagaimana perintah UU. Itulah menjadi sebab PP tidak
boleh berisi tentang pengaturan norma yang sama dengan UU karena kedudukan PP
berada di bawah UU. Selain itu, karakteristik UU berbeda dengan karakteristik
PP, dimana UU berisi tentang norma yang membatasi hak warga Negara sehingga
diperlukan persetujuan DPR dalam pengaturan pembatasan Hak. Sedangkan PP berisi
tentang pengaturan teknis yang sifatnya hanya menjalankan norma yang belum
jelas yang tertuang dalam delegasi UU.
Maksud “TERSELUBUNG” Pembahasan ditengah Pandemi
COVID-19
Situasi
darurat akibat pandemic virus korona tidak menyurutkan niat DPR-RI untuk
menyetujui sejumlah pembahasan RUU kontroversial, tidak terkecuali pembasahasan
mengenai Omnibus Law (Cipta Kerja). Rapat Paripurna DPR telah membahas lanjutan
RUU ini, tentu saja kontroversi ini mengundang protes banyak public. Masyarakat
menilai DPR tidak etis dan tidak peka terhadap situasi ancaman bahaya
penyebaran COVID-19 di Indonesia. Terlebih lagi, semua pihak saat ini berfokus
pada upaya menghadapi pandemic berbahaya ini.
Terdapat
2 hal yang perlu menjadi catatan atas langkah DPR yang membahas RUU Cipta Kerja
Omnibus Law ditengah situasi yang
darurat. Pertama, DPR dinilai seakan menyangkal Keputusan Presiden Nomor 11
Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan COVID-19, yang di ikuti pula
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial
Berskala Besar dalam rangka percepatan Penanganan COVID-19. Rakyat dengan keras
dan tegas diminta untuk mematuhi pembatasan social ini, sementara wakil rakyat
mereka di DPR-RI justru dengan santai melanggarnya.
Kedua,
alasan procedural menyangkut teknis terkait harapan pembentukan hokum merupakan
argument legalisme. Hal ini sama sekali tidak mempertimbangkan konteks
kedaruratan kesehatan masyarakat. Tidak terhindarkan kecurigaan public atas
dugaan agenda terselubung dibalik proses percepatan pembahasan RUU
kontroversial tersebut.
Dalam
teori ketatanegaraan, khususnya perundang-undangan realitas pembentukan hokum
tanpa mempertimbangkan konteks situasinya menjadi objek kajian dengan
pendekatan legisprudensi (legisprudence),
dimana suatu pendekatan dengan mempertimbangan kearifan sekaligus partisipasi
social dalam proses pembentukan hokum oleh legislator.
Peraturan yang saling Berkonflik dan Inkonsistensi
Norma
Di
Indonesia saat ini terdapat ratusan undang-undang terkait dengan dunia bisnis
yang saling berkonflik. Berdasarkan data
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (2018) terdapat 15
undang-undang berkaitan dengan investasi; 10 undang-undang berkaitan dengan
memulai bisnis. Sebanyak 44 undang-undang terkait dengan perizinan berusaha; 10
undang-undang terkait tata ruang dan pertanahan; 23 undang-undang terkait
dengan sarana-prasarana bisnis, ketenagakerjaan, insentif fasilitasi, dan
kewajiban pembayaran pendapatan negara bukan pajak atau pajak daerah dan
retribusi daerah; dan 50 undang-undang berkaitan dengan penegakan hukum.
Semua
undang-undang itu dibuat pada era 1960-an hingga 2000-an yang sudah tak mampu
menjawab aneka problem dunia usaha, sehingga malah menghambat investasi dan
menyulitkan pertumbuhan ekonomi nasional. Tepatlah
kritik dari Global Competitiveness Report
(2019) yang menyatakan peraturan di Indonesia rendah kualitasnya dalam daya
dukung terhadap kemudahan berusaha (easy of doing bussiness/EoDB). Peringkat
EoDB Indonesia (ke-73) kalah jauh dalam
hal peringkat indikator starting a
business dari Singapura (ke-3), Malaysia (ke-15), dan Vietnam (ke-69).
Dalam
undang-undang ini, tidak disebutkan atau tidak mengenal adanya istilah UU
payung atau omnibus law. Untuk itu, secara formil proses pembentukan RUU
omnibus law dinilai masih perlu penyelasaian dalam alur pembentukan peraturan
perundang-undangan. Omnibus law merupakan produk hukum yang berupaya membuat
suatu undang-undang yang dapat mencabut atau mengamandemen beberapa
undang-undang sekaligus. Secara materil, landasan filosofis dari RUU omnibus
law sendiri memiliki tujuan yang baik yakni menyelaraskan berbagai aturan yang
inkonsisten, menyederhanakan regulasi, mempermudah investasi, dan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi demi kesejahteraan masyarakat.
Niat
pemerintah dalam RUU omnibus law sendiri pada dasarnya baik, yakni guna
menjalankan kewajibannya untuk menyejahterakan rakyat sebagaimana amanat
konstitusi. Namun, secara materiil, pemerintah semestinya memperhatikan
berbagai substansi pengaturan terkait kewenangan dalam konteks otonomi daerah,
etika dan daya dukung lingkungan hidup, hak-hak buruh, dan lain-lain yang
disoroti oleh berbagai pihak dalam mengkaji RUU omnibus law ini. Kontroversi di
kalangan masyarakat tentunya perlu direspons positif oleh pemerintah dan DPR
agar RUU omnibus law ini dapat menjadi regulasi yang progresif memberi solusi
bagi peningkatan perekonomian dan kesejahteraan bangsa tanpa mencederai hak-hak
politik dan ekonomi rakyat. Untuk itu, penulis mendorong agar pembentukan undang-undang ini melibatkan partisipasi
publik secara massif.
Hal ini penting dilakukan sebagai upaya
legitimasi hukum dan politik dalam konsep negara hukum yang demokratis. Oleh karenanya, proses
ini memerlukan transparansi dan akuntabilitas publik melalui ruang-ruang
dialogis yang intens antara pemerintah, DPR, dan berbagai pemangku kepentingan.
Untuk merealisasikan idealisasi ini di antaranya; pertama, dalam pembentukan RUU omnibus law
ini mesti mentaati berbagai asas maupun tahapan formil pembentukan peraturan
perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No.
15 Tahun 2019.
Ancaman
Merugikan Pekerja “Kantoran”
Ancaman
pertama yang muncul akibat dari RUU Cipta Kerja adalah pekerja kantoran bisa
dikontrak seumur hidup karena tidak ada kewajiban perusahaan mengangkat jadi
pegawai tetap. Hal itu ditunjukan dengan dihapusnya Pasal 59 dalam UU Nomor 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 59 ayat 1 berbunyi "Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang
menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu
tertentu...."
Ayat 4 menegaskan "Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu
tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh
diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun." Pasal yang melindungi pekerja agar
diangkat jadi karyawan tetap, tapi dihapus. Akibatnya pekerja bisa dikontrak
seumur hidup, permanently temporary.
Potensi
“PHK” Besar-Besaran
Status karyawan kontrak berpotensi
menimbulkan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara semena-mena, dengan alasan
kontrak habis. Selain itu, potensi PHK besar-besaran juga, berpotensi terjadi
karena munculnya pasal karet dalam RUU Cipta Kerja, yaitu Pasal 154 A dimana
salah satu alasan pemutusan hubungan kerja dapat terjadi dengan alasan efisiensi.
Selama ini efisiensi selalu jadi kedok perusahan melakukan pemecatan
semena-mena. Di Omnibus Law malah dilegitimasi dan dipertegas.
Berdampak
“BERANGUS” bagi Buruh
Rencana
pemerintah melakukan deregulasi melalui omnibus law kembali mendapat penolakan
dari kalangan buruh. Sebab, substansi RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja
potensi menurunkan kesejahteraan bagi buruh/pekerja seluruh Indonesia. Sedikitnya
ada 6 dampak buruk omnibus law bagi kaum pekerja di Indonesia.
Pertama, omnibus-law rencananya akan menghilangkan upah
minimum dan menggantinya dengan penerapan upah per jam. Meskipun ada pernyataan
yang menyebut buruh dengan jam kerja minimal 40 jam sepekan akan mendapat upah
seperti biasa, tapi bagi buruh dengan jam kerja kurang dari 40 jam akan
mendapat upah di bawah minimum. Belum
lagi ketika pekerja sakit, menjalankan ibadah sesuai kewajiban agamanya, cuti
melahirkan; maka upahnya tidak lagi dibayar karena pada saat itu dianggap tidak
bekerja.
Kedua, menghilangkan pesangon. UU No.13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yang mengatur besaran pesangon maksimal 9 bulan dan
dapat dikalikan 2 untuk pemutusan hubungan kerja (PHK) jenis tertentu, sehingga
totalnya bisa mendapat 18 bulan upah akan benar-benar dihilangkan dalam
pengaturan RUU Cipta Kerja ini. Selain itu, ada penghargaan masa kerja maksimal
10 bulan upah dan penggantian hak minimal 15 persen dari total pesangon
dan/atau penghargaan masa kerja. Namun, melalui RUU Omnibus Law, pemerintah
berencana memangkas pesangon menjadi tunjangan PHK sebesar 6 bulan upah.
Ketiga, fleksibilitas pasar kerja dan perluasan outsourcing. Menurut Iqbal, omnibus law
akan memperkenalkan istilah baru yaitu fleksibilitas pasar kerja. Dia
menerangkan fleksibilitas pasar kerja berarti tidak ada kepastian kerja dan
pengangkatan status menjadi karyawan tetap atau perjanjian kerja waktu tidak
tertentu (PKWTT). Selaras dengan itu,
jenis pekerjaan yang bisa di-outsourcing akan diperluas, tidak lagi 5 jenis
pekerjaan seperti yang berlaku saat ini. Artinya, masa depan buruh semakin
tidak jelas. Mulai dari hubungan kerjanya fleksibel yang artinya mudah kena
PHK, hingga tidak ada lagi jaring pengaman upah minimum, dan pesangon dihapus
Keempat, omnibus law akan membuka ruang besar tenaga kerja
asing (TKA) tidak berketerampilan (unskill)
untuk masuk dan bekerja di Indonesia. Padahal, UU Ketenagakerjaan mengatur
jabatan yang boleh ditempati TKA yakni yang membutuhkan keterampilan tertentu yang
belum dimiliki pekerja lokal. Jangka waktunya pun dibatasi maksimal 5 tahun dan
harus didampingi pekerja lokal untuk transfer
of knowledge.
Kelima, omnibus law potensi mengancam jaminan sosial yakni
jaminan hari tua dan jaminan pensiun. Sistem kerja fleksibel membuat pekerja
tidak bisa mendapat jaminan hari tua dan jaminan pensiun karena tidak ada
kepastian pekerjaan. Sistem kerja fleksibel akan membuat buruh berpindah
pekerjaan setiap tahun dengan upah beberapa jam dalam satu hari yang besarannya
di bawah upah minimum.
Keenam, omnibus law dikhawatirkan menghilangkan sanksi
pidana bagi pengusaha yang tidak memenuhi hak-hak buruh. Dampaknya, akan banyak
hak buruh yang tidak dipenuhi pengusaha karena tidak ada efek jera melihat
proses pembahasan omnibus law mengarah pada penghapusan atau penurunan besaran
pesangon, pengupahan dan menyerahkan sistem ketenagakerjaan pada mekanisme
bipartit yakni perundingan pengusaha dan buruh di tempat kerja. Ilhamsyah yakin
perubahan yang akan dilakukan terhadap ketentuan pesangon itu bakal menciptakan
banyak PHK massal.
Buruh
yang menganggur akibat PHK massal ini tak lantas mendapatkan pekerjaan sehingga
menjadi beban ekonomi dan sosial bagi masyarakat dan negara. Alih-alih cipta
lapangan kerja, pengesahan omnibus law akan menciptakan gelombang PHK. Mengenai pengupahan, terdapat sebuah perubahan
mekanisme perhitungan menjadi per jam. Ketentuan ini menjauhkan buruh dari
kepastian kerja. Perhitungan upah per jam tidak tepat mengingat jaring pengaman
sosial di Indonesia masih lemah. Upah minimum merupakan mekanisme yang tepat
digunakan Indonesia untuk saat ini. kebijakan omnibus law di bidang
ketenagakerjaan intinya membuat pasar kerja fleksibel dan melemahkan daya tawar
buruh sehingga tidak bisa berserikat. Kebijakan itu nanti akan memudahkan buruh
untuk terkena PHK atau dikurangi jam kerjanya. pemerintah berulang kali
memberikan berbagai bentuk insentif bagi pengusaha. Tapi hal serupa tidak
dilakukan untuk kalangan buruh. Buruh seolah menjadi tumbal untuk menggenjot
ekonomi. Karena itu, KPBI menuntut pemerintah membatalkan pasal ketenagakerjaan
dalam omnibus law dan RUU Cipta Lapangan Kerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar