Pemilu Mendekat,
---
Apa
kabar masyarakat Adat ?
Oleh : Satryo
Sasono (Mahasiswa Fakultas Hukum UNS Surakarta)
Pesta
akbar demokrasi terbesar di Indonesia dalam waktu dekat akan segera
diselenggarakan, kontestasi politik tahun ini merupakan yang terakbar dalam
sejarah ketatanegaraan Indonesia karena diadakan serentak pada 17 April
mendatang dimana rakyat tidak hanya dihadapkan pada satu surat suara saja.
Pemilu yang akan datang mengharuskan rakyat menyalurkan aspirasinya sebagai hak
sekaligus kewajiban dalam pemilihan Presiden-Wakil Presiden, Caleg Pusat DPR,
Caleg Daerah Provinsi, Caleg Daerah Kabupaten/Kota serta DPD yang masing-masing
berkompetisi untuk meraup hati dan suara rakyat Indonesia.
Menyongsong
perhelatan demokrasi rakyat yang sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat
Indonesia menjadikan kondisi atmosfer politik saat ini mulai menegang dan
memanas. Bukan lagi bulan ataupun minggu, hanya dengan menghitung hari para
pejuang demokrasi Indonesia dari seluruh penjuru negara berbondong-bondong
terjun dan memeriahkan pesta demokrasi ini.
Mereka
yang sudah dinyatakan legalitasnya menurut Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 dengan
minimal usia 17 tahun telah usai pula mendaftarkan diri mereka sebagai antrian
coblosan dalam Daftar Pemilih Tetap atau DPT. Urgensi pemilu mendatang bukan
hanya sekedar kepentingan politik semata yang harus mengejar kemenangan usai
pertarungan sengit mendapat suara rakyat oleh para pemangku kepentingan
Indonesia untuk 5 tahun kedepan. Selayaknya pesta demokrasi mendatang juga
bukan hanya milik elit maupun sekelompok golongan kepentingan semata, namun
milik seluruh warga negara Indonesia baik yang berada maupun diluar wilayah
Indonesia saat ini. Pemilu membuka harapan untuk memperbaharui mimpi-mimpi bangsa
Indonesia untuk menjadi negara ideal, kuat dalam menghadapi berbagai terjangan
serta bersifat bersih dan transparan yang senantiasa mengedepankan kebajikan.
Para
pejuang politik demokrasi saling menawarkan opsi untuk regenerasi kebijakan dan
keadilan dalam negeri. Mulai dari bidang social, budaya, ekonomi, hingga
merambah ke dunia teknologi terus digalang berbagai inovasi untuk menarik hati
para pemilih di seluruh penjuru negri. Penyetor suara strategis terus digali
demi kemenangan saat pemilu telah usai. Calon-calon pemangku kepentingan yang
beradu di kontestasi politik mendatang mencari peluang-peluang pada masyarakat
yang mampu menyetorkan suara terbanyak. Mulai dari golongan anggota partai,
garda partai, penduduk basis, hingga para pemuda yang dianggap pula sebagai isyarat
penentu dalam kemenangan.
Namun
ada dalam sudut bagian dari negeri tercinta Indonesia ini yang belum dianggap
menempati posisi strategis dalam hal kuantitas suara masyarakat. Politikus
calon-calon legislative lebih memilih kawasan basis besar dengan sengaja
meninggalkan warga negara yang selayaknya juga memiliki tempat di dalam
Undang-Undang untuk berpartisipasi aktif dalam kontestasi politik mendatang.
Siapakah mereka yang selama ini bersembunyi dalam diam ? Siapakah mereka yang
selama ini tak terdengar suaranya dan seakan lenyap dalam zaman ? Jelas bahwa
mereka adalah penduduk atau masyarakat adat yang mendiami tempat-tempat yang
bisa dibilang cukup terasing dari perhatian masyarakat luas.
Di
Indonesia sendiri masyarakat sebenarnya telah diakui keberadaannya dalam
konstitusi dimana pada UUD 1945 pasal 18B secara jelas mengatur “Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup ….”, namun pada faktanya posisi
masyarakat adat di Indonesia masih perlu dipertanyakan hak-hak
konstitusionalnya dikarenakan pemerintah belum menjamin keberadaan mereka
mengindikasikan adanya hak politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selama
dua decade terakhir, masyarakat adat bisa dikatakan menjadi korban dari sistem
pemilu yang tak lagi lekat oleh hak asasi. Sistem pemilu Indonesia di desain
sedemikian rupa sehingga gagal beradaptasi pada realitas sosio-kultural yang
telah hidup dan berkembang di masyarakat. Memang beberapa masyarakat adat
memiliki sistem yang mirip pemilu dengan desain demokrasi di Indonesia, seperti
halnya di Papua terdapat sistem Noken dimana kepala suku mengambil posisi
strategis dalam menentukan suara masyarakatnya yang mana oleh sebagian elit politik
dinilai rentan akan mobilisasi politik ditengah panasnya atmosfer konstelasi
politik. Sistem unik pemilu Noken penuh
dengan tarik ulur apakah dikatakan demokratis atau justru hanya sebagai
formalitas absah dalam pemilu, pada kenyataannya kondisi ini tidak dapat
dianggap tabu dalam sistem kenegaraan plural di Indonesia.
Lain
cerita dengan problematika yang baru-baru ini timbul tentang dilema hak suara
para tuna aksara bagi masyarakat adat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan yang
diharuskan mengikuti pemilu mendatang. Dasar legalitas asas pemilu di Indonesia
menghendaki kerahasiaan, yang artinya mereka diharuskan mencoblos pada pemilu
mendatang di bilik suara tanpa arahan dan ditemani kerabat padahal tak memiliki
kecakapan dalam membaca bahkan menulis. Niat masyarakat adat untuk menitipkan
harapan pada calon-calon pemimpin mereka agar mereka keluar dari jerat
kemiskinan dan keterasingan peradaban terancam pupus. Kurang dari seminggu
jelang Pemilu KPU tak kunjung bergerak cepat mengenai kepastian akan kebijakan
tunggal akan persoalan masyarakat adat ini.
Secara
terminologis, pemilh buta huruf diminta mengidentifikasi warna dan symbol
partai dalam surat suara, terutama yang tak memuat foto peserta pemilu.
Perhatian pemerintah daerah dan pemerintah pusat akan hak konstitusional
masyarakat adat perlu untuk dipertimbangkan mengingat masyarakat adat juga
bagian dari negara Indonesia yang dijamin dan dilindungi keberadaannya dalam
konstitusi negara.
Alasan
kultural dan pranata hukum adat yang melekat dalam keseharian masyarakat adat
secara turun-temurun yang dianggap kontradiktif dengan ketentuan administrative
dalam pemilu sudah sewajarnya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk
menyelesaikan permasalahan tersebut dikondisi ketika pemilu akan dilaksanakan.
Ditambah alasan sebaran geografis dan konflik tenurial akan wilayah
administrative seharusnya tidak perlu di dramatisir walaupun memang kondisi
memang demikian, namun sudah menjadi konsekuensi awal ketika negara ini
terbentuk bahwa sebagai negara kepulauan memang tanggung jawab dan implikasi
terhadap perkembangan ketatanegaraan pastilah menghadapi hambatan-hambatan yang
tak kunjung usai.
Suku
Baduy di kawasan tanah ulayat Banten misalnya yang akan turun gunung pada
pemilu 17 April mendatang telah mendeklarasikan komitmen mereka dalam
keikutsertaan kontestasi politik demi tidak golput patut diapresiasi oleh
pemerintah, sebab demokrasi yang hanya 5 tahunan ini bagi mereka diharapkan
melahirkan pemimpin baru yang nantinya mampu memerhatikan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat tak
terkecuali masyarakat adat. Kemudian jangan sampai timbul permasalahan ranta
dengan alasan wilayah yang sulit dijangkau pemerintah tak lagi mampu
mengakomodir mereka yang peduli dengan masa depan negara.
Baik
berwujud bantuan transportasi, sosialisasi maupun pendekatan humanis yang mampu
secara baik menarik minat masyarakat adat agar tidak golput patut diacungi
jempol demi melindungi hak-hak konstitusional warga negara. Terakhir bahwa
desain kebijakan akan legalitas masyarakat adat juga patut dilindungi, DPR yang
nantinya terpilih harus memulai kerja keras dan focus pada tahapan pengesahan
RUU PPHA (Pengakuan dan Perlindungan Hak Adat) sehingga perlindungan kepada
mereka-mereka masyarakat adat betul-betul dijamin sepenuhnya oleh pemerintah
sebagai pemangku kepentingan. Dan jangan sampai tujuan awalnya memberdayakan
masyarakat adat justru mempersulit mereka dengan syarat-syarat dan limitasi
waktu yang terbatas.
Bersama
seluruh komponen masyarakat membuka mata, dan telinga bahwa mendengar suara
rakyat jangan hanya yang berteriak di depan mereka namun masyarakat adat yang
menangis dan berteriak dibelakang justru diduakan keberadaannya. Fokus berburu
suara penentu juga harus diimbangkan focus bekerja hingga masyarakat adat makin
maju.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar