Kamis, 24 Oktober 2019


Pemilu Mendekat,
                 ---
                Apa kabar masyarakat Adat ?
                            Oleh : Satryo Sasono (Mahasiswa Fakultas Hukum UNS Surakarta)

            Pesta akbar demokrasi terbesar di Indonesia dalam waktu dekat akan segera diselenggarakan, kontestasi politik tahun ini merupakan yang terakbar dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia karena diadakan serentak pada 17 April mendatang dimana rakyat tidak hanya dihadapkan pada satu surat suara saja. Pemilu yang akan datang mengharuskan rakyat menyalurkan aspirasinya sebagai hak sekaligus kewajiban dalam pemilihan Presiden-Wakil Presiden, Caleg Pusat DPR, Caleg Daerah Provinsi, Caleg Daerah Kabupaten/Kota serta DPD yang masing-masing berkompetisi untuk meraup hati dan suara rakyat Indonesia.
            Menyongsong perhelatan demokrasi rakyat yang sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia menjadikan kondisi atmosfer politik saat ini mulai menegang dan memanas. Bukan lagi bulan ataupun minggu, hanya dengan menghitung hari para pejuang demokrasi Indonesia dari seluruh penjuru negara berbondong-bondong terjun dan memeriahkan pesta demokrasi ini.
            Mereka yang sudah dinyatakan legalitasnya menurut Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 dengan minimal usia 17 tahun telah usai pula mendaftarkan diri mereka sebagai antrian coblosan dalam Daftar Pemilih Tetap atau DPT. Urgensi pemilu mendatang bukan hanya sekedar kepentingan politik semata yang harus mengejar kemenangan usai pertarungan sengit mendapat suara rakyat oleh para pemangku kepentingan Indonesia untuk 5 tahun kedepan. Selayaknya pesta demokrasi mendatang juga bukan hanya milik elit maupun sekelompok golongan kepentingan semata, namun milik seluruh warga negara Indonesia baik yang berada maupun diluar wilayah Indonesia saat ini. Pemilu membuka harapan untuk memperbaharui mimpi-mimpi bangsa Indonesia untuk menjadi negara ideal, kuat dalam menghadapi berbagai terjangan serta bersifat bersih dan transparan yang senantiasa mengedepankan kebajikan.
            Para pejuang politik demokrasi saling menawarkan opsi untuk regenerasi kebijakan dan keadilan dalam negeri. Mulai dari bidang social, budaya, ekonomi, hingga merambah ke dunia teknologi terus digalang berbagai inovasi untuk menarik hati para pemilih di seluruh penjuru negri. Penyetor suara strategis terus digali demi kemenangan saat pemilu telah usai. Calon-calon pemangku kepentingan yang beradu di kontestasi politik mendatang mencari peluang-peluang pada masyarakat yang mampu menyetorkan suara terbanyak. Mulai dari golongan anggota partai, garda partai, penduduk basis, hingga para pemuda yang dianggap pula sebagai isyarat penentu dalam kemenangan.
            Namun ada dalam sudut bagian dari negeri tercinta Indonesia ini yang belum dianggap menempati posisi strategis dalam hal kuantitas suara masyarakat. Politikus calon-calon legislative lebih memilih kawasan basis besar dengan sengaja meninggalkan warga negara yang selayaknya juga memiliki tempat di dalam Undang-Undang untuk berpartisipasi aktif dalam kontestasi politik mendatang. Siapakah mereka yang selama ini bersembunyi dalam diam ? Siapakah mereka yang selama ini tak terdengar suaranya dan seakan lenyap dalam zaman ? Jelas bahwa mereka adalah penduduk atau masyarakat adat yang mendiami tempat-tempat yang bisa dibilang cukup terasing dari perhatian masyarakat luas.
            Di Indonesia sendiri masyarakat sebenarnya telah diakui keberadaannya dalam konstitusi dimana pada UUD 1945 pasal 18B secara jelas mengatur “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup ….”, namun pada faktanya posisi masyarakat adat di Indonesia masih perlu dipertanyakan hak-hak konstitusionalnya dikarenakan pemerintah belum menjamin keberadaan mereka mengindikasikan adanya hak politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
            Selama dua decade terakhir, masyarakat adat bisa dikatakan menjadi korban dari sistem pemilu yang tak lagi lekat oleh hak asasi. Sistem pemilu Indonesia di desain sedemikian rupa sehingga gagal beradaptasi pada realitas sosio-kultural yang telah hidup dan berkembang di masyarakat. Memang beberapa masyarakat adat memiliki sistem yang mirip pemilu dengan desain demokrasi di Indonesia, seperti halnya di Papua terdapat sistem Noken dimana kepala suku mengambil posisi strategis dalam menentukan suara masyarakatnya yang mana oleh sebagian elit politik dinilai rentan akan mobilisasi politik ditengah panasnya atmosfer konstelasi politik. Sistem unik pemilu Noken penuh dengan tarik ulur apakah dikatakan demokratis atau justru hanya sebagai formalitas absah dalam pemilu, pada kenyataannya kondisi ini tidak dapat dianggap tabu dalam sistem kenegaraan plural di Indonesia.
            Lain cerita dengan problematika yang baru-baru ini timbul tentang dilema hak suara para tuna aksara bagi masyarakat adat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan yang diharuskan mengikuti pemilu mendatang. Dasar legalitas asas pemilu di Indonesia menghendaki kerahasiaan, yang artinya mereka diharuskan mencoblos pada pemilu mendatang di bilik suara tanpa arahan dan ditemani kerabat padahal tak memiliki kecakapan dalam membaca bahkan menulis. Niat masyarakat adat untuk menitipkan harapan pada calon-calon pemimpin mereka agar mereka keluar dari jerat kemiskinan dan keterasingan peradaban terancam pupus. Kurang dari seminggu jelang Pemilu KPU tak kunjung bergerak cepat mengenai kepastian akan kebijakan tunggal akan persoalan masyarakat adat ini.
            Secara terminologis, pemilh buta huruf diminta mengidentifikasi warna dan symbol partai dalam surat suara, terutama yang tak memuat foto peserta pemilu. Perhatian pemerintah daerah dan pemerintah pusat akan hak konstitusional masyarakat adat perlu untuk dipertimbangkan mengingat masyarakat adat juga bagian dari negara Indonesia yang dijamin dan dilindungi keberadaannya dalam konstitusi negara.
            Alasan kultural dan pranata hukum adat yang melekat dalam keseharian masyarakat adat secara turun-temurun yang dianggap kontradiktif dengan ketentuan administrative dalam pemilu sudah sewajarnya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dikondisi ketika pemilu akan dilaksanakan. Ditambah alasan sebaran geografis dan konflik tenurial akan wilayah administrative seharusnya tidak perlu di dramatisir walaupun memang kondisi memang demikian, namun sudah menjadi konsekuensi awal ketika negara ini terbentuk bahwa sebagai negara kepulauan memang tanggung jawab dan implikasi terhadap perkembangan ketatanegaraan pastilah menghadapi hambatan-hambatan yang tak kunjung usai.
            Suku Baduy di kawasan tanah ulayat Banten misalnya yang akan turun gunung pada pemilu 17 April mendatang telah mendeklarasikan komitmen mereka dalam keikutsertaan kontestasi politik demi tidak golput patut diapresiasi oleh pemerintah, sebab demokrasi yang hanya 5 tahunan ini bagi mereka diharapkan melahirkan pemimpin baru yang nantinya mampu memerhatikan  dan meningkatkan kesejahteraan rakyat tak terkecuali masyarakat adat. Kemudian jangan sampai timbul permasalahan ranta dengan alasan wilayah yang sulit dijangkau pemerintah tak lagi mampu mengakomodir mereka yang peduli dengan masa depan negara.
            Baik berwujud bantuan transportasi, sosialisasi maupun pendekatan humanis yang mampu secara baik menarik minat masyarakat adat agar tidak golput patut diacungi jempol demi melindungi hak-hak konstitusional warga negara. Terakhir bahwa desain kebijakan akan legalitas masyarakat adat juga patut dilindungi, DPR yang nantinya terpilih harus memulai kerja keras dan focus pada tahapan pengesahan RUU PPHA (Pengakuan dan Perlindungan Hak Adat) sehingga perlindungan kepada mereka-mereka masyarakat adat betul-betul dijamin sepenuhnya oleh pemerintah sebagai pemangku kepentingan. Dan jangan sampai tujuan awalnya memberdayakan masyarakat adat justru mempersulit mereka dengan syarat-syarat dan limitasi waktu yang terbatas.
            Bersama seluruh komponen masyarakat membuka mata, dan telinga bahwa mendengar suara rakyat jangan hanya yang berteriak di depan mereka namun masyarakat adat yang menangis dan berteriak dibelakang justru diduakan keberadaannya. Fokus berburu suara penentu juga harus diimbangkan focus bekerja hingga masyarakat adat makin maju.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Perbandingan Sistem Ekonomi

  “SISTEM EKONOMI ISLAM DALAM PERBANDINGAN  DENGAN EKONOMI KAPITALIS DAN SOSIALIS” Satryo Sasono 1 1.     Sistem Ekonomi Kapitalis Sis...