Satryo Sasono
Fakultas Hukum UNS
A.
Pengaturan Asas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah menurut
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
Berbicara mengenai pemerintah daerah, dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945, Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Sebagai negara kesatuan dan karena adanya faktor-faktor geografis, susunan masyarakat, ikatan-ikatan keagamaan kebudayaan, adat istiadat, politik, sifat, dan tingkat perekonomian yang berbeda-beda, maka sistem yang dipandang cocok adalah sistem desentralisasi. Kemudian, kembali pada Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 dan Pasal 18B. Berdasarkan pasal tersebut, maka daerah-daerah bersifat otonom, (streek and locale rechtsgemeens-chappen) yang diatur dan ditetapkan dengan undang-undang. Pada daerah yang bersifat otonom terdapat badan perwakilan daerah. Dalam literatur, di Indonesia terdapat ± 250 "zelfbesturende landschappen” dan “volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya.
Asas penyelenggaraan
pemerintahan di Daerah atau kedaerahan merupakan konsekuensi dari Pasal 18,
18A, dan 18B Undang-Undang Dasar 1945. Asas pemerintah daerah di Indonesia saat
ini diatur dalam Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yakni :
“Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di Daerah dilaksanakan berdasarkan asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan.”
Artinya terdapat 3
(tiga) asas penyelenggaraan pemerintahan di daerah yang masih berlaku sampai
saat ini adalah Asas Desentralisasi, Asas Dekonsentrasi, dan Tugas pembantuan.
Konsekuensi dari ketiga asas tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Otonomi daerah,
sebagai akibat digunakan asas desentralisasi lalu dibentuk daerah otonom yang
diberikan hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri sesuai dengan peraturan yang berlaku.
2.
Daerah Otonom,
yaitu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang
berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam
ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
3.
Wilayah
administratif, sebagai akibat diterapkan asas dekonsentrasi.
B.
Asas Desentralisasi
Pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
beserta penjelasannya, desentralisasi diartikan penyerahan urusan pemerintahan oleh
Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi. Urusan-urusan
pemerintah yang telah diserahkan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan asas
desentralisasi pada dasarnya menjadi wewenang dan tanggung jawab Daerah
sepenuhnya. Dalam hal ini, prakarsa sepenuhnya diserahkan kepada daerah, baik
yang menyangkut kebijaksanaan, pembiayaan, pelaksanaan maupun yang menyangkut
segi-segi pengawasan.
Asas desentralisasi dalam sistem ketatanegaraan
Republik Indonesia adalah penyerahan wewenang pemerintahan kepada Daerah Otonom
untuk menjadi urusan rumah tangga Daerah Otonom. Adapun ciri-cirinya adalah:
1.
Adanya
penyerahan kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusanpemerintahan tertentu.
2.
Adanya urusan
pemerintahan yang menjadi urusan rumah tangga daerah.
3.
Adanya lembaga
perwakilan daerah yang bersama-sama dengan Kepala
4.
daerah
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi urusan rumah tangga daerah.
5.
Dimilikinya
sumber pendapatan daerah dan harta kekayaan daerah sendiri yang diperlukan
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang menjadi urusan rumah
tangga daerah.
Ada beberapa keuntungan dari penyelenggaraan
pemerintahan, berdasarkan asas desentralisasi, yaitu:
1.
Desentralisasi
memberi penilaian yang lebih tepat terhadap Daerah dan penduduk yang beraneka
ragam.
2.
Desentralisasi
meringankan beban pemerintah karena Pemerintah Pusat tidak mungkin mengenal
seluruh/ segala kepentingan dan kebutuhan setempat serta tidak mungkin pula
mengetahui bagaimana memenuhi kebutuhan tersebut sebaik-baiknya. Daerahlah yang
mengetahui sedalam-dalamnya kebutuhan Daerah dan bagaimana memenuhinya.
3.
Dengan
desentralisasi dapat dihindarkan adanya beban yang melampaui batas dari
Perangkat Pusat yang disebabkan tunggakan kerja.
4.
Pada
desentralisasi unsur individu atau Daerah lebih menonjol karena dalam ruang
lingkup yang sempit, seseorang dapat lebih mempergunakan pengaruhnya daripada
dalam masyarakat yang luas.
5.
Pada
Desentralisasi, masyarakat setempat dapat berkesempatan ikut serta dalam
penyelenggaraan pemerintahan ia tidak hanya merasa sebagai objek saja.
6.
Desentralisasi
meningkatkan turut sertanya masyarakat setempat dalam melakukan kontrol
terhadap segala tindakan dan tingkah laku Pemerintah. Ini dapat menghasilkan
pemborosan dan dalam hal tertentu desentralisasi dapat meningkatkan daya guna
dan hasil guna.
Lebih jauh diungkapkan
bahwa di samping keuntungan-keuntungan, desentralisasi juga mengundang beberapa
kelemahan, yaitu berikut ini :
1.
Oleh karena
besarnya organ-organ pemerintahan, maka struktur pemerintahan bertambah kompleks,
hal mana mempersulit koordinasi.
2.
Keseimbangan dan
keserasian antara bermacam-macam kepentingan Daerah dapat lebih mudah
terganggu.
3.
Khusus mengenai
desentralisasi sosial, dapat mendorong timbulnya apa yang disebut Daerahisme
atau Provinsialisme.
4.
Keputusan yang
diambil memerlukan waktu yang lama karena membutuhkan perundingan-perundingan
yang lama.
5.
Dalam
penyelenggaraan desentralisasi diperlukan biaya yang lebih banyak dan sulit
untuk memperoleh keseragaman dan kesederhanaan.
C.
Asas Dekonsentrasi
Menurut Koesoemahatmaja (dalam Fauzan, 2006:53)
dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari alat perlengkapan negara
tingkatan lebih atas kepada bawahannya guna melancarkan pekerjaan di dalam melaksanakan
tugas pemerintahan, misalnya pelimpahan kekuasaan dari wewenang menteri kepada
Gubernur, dari Gubernur kepada Bupati dan seterusnya. Menurut Rondinelli (dalam
Koswara, 2002:47) dekonsentrasi pada hakikatnya hanya merupakan pembagian
kewenangan dan tanggung jawab administratif antara departemen pusat dengan
pejabat pusat di lapangan.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,
dekonsentrasi diartikan sebagai pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi
vertikal di wilayah tertentu. Sementaras secara normatif, dalam Pasal 1 angka
10 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menjelaskan
bahwa :
“Dekonsentrasi
adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi
vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota
sebagai penanggung jawab.”
Kemudian, urusan pemerintahan umum dalam Pasal 10
ayat (2) huruf b urusan pemerintahan absolut menempatkan pelimpahan wewenang
kepada Instansi Vertikal yang ada di Daerah atau Gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat yang berdasar atas asas Dekonsentrasi. Jika dicermati sifat
dari masing-masing kewenangan pemerintahan pusat, memang ada hal-hal yang tidak
dapat dilimpahkan sehingga diurus secara dekonsentrasi, yaitu urusan
pertahanan, peradilan, moneter fiskal, kepolisian dan hubungan luar negeri.
Pada prinsipnya, urusan pemerintahan yang didekosehingga pengertian ini juga
lazim disebut teori residu atau sisa. Contoh penerapan asas dekonsentrasi
adalah pendelegasian wewenang dari Presiden kepada para Menteri, pendelegasian
wewenang dari Gubernur kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah.nsentrasikan
adalah sisa urusan yang tidak diserahkan ke daerah.
D.
Asas Tugas Pembantuan
Tugas pembantuan adalah tugas yang ditujukan untuk
turut serta melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada pemerintah daerah
oleh pemerintah atau pemerintah daerah tingkat atasnya dengan kewajiban
mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya. Tidak semua urusan pemerintah
dapat diserahkan kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya, jadi beberapa
urusan pemerintah masih tetap merupakan urusan pemerintah pusat.
Akan tetapi, berat sekali bagi pemerintah untuk menyelenggarakan
seluruh urusan pemerintahan dan daerah yang menjadi wewenang dan tanggung jawab
itu atas dasar dekonsentrasi, mengingat terbatasnya kemampuan perangkat
pemerintahan pusat di daerah, dan juga ditinjau dari segi daya guna dan hasil
guna adalah kurang dapat dipertanggungjawabkan apabila semua urusan pemerintah
pusat harus dilaksanakan sendiri oleh perangkatnya di daerah karena hal itu
akan memerlukan tenaga dan biaya yang sangat besar jumlahnya. Lagi pula, mengingat
sifatnya berbagai urusan sulit untuk dapat dilaksanakan dengan baik tanpa ikut
sertanya pemerintah daerah yang bersangkutan.
Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang
dimaksud dengan Tugas Pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah
dan desa dan dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang
disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban
melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan.
Pelaksanaan tugas pembantuan dimaksudkan untuk memperlancar tugas-tugas
pemerintah di daerah sehingga pemerintah tidak perlu membentuk lembaga
tersendiri di daerah demi efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas tertentu.
Sebenarnya di dalam asas pembantuan terkandung pengertian pemberian kewenangan
otonomi yang tidak penuh atau dapat juga dikatakan sebagai fase antara menuju
kemandirian pemerintahan daerah dan desa. Kelihatannya, asas tugas pembantuan
ini tetap dipertahankan atas dasar pertimbangan:
1.
untuk
mengakomodasi tugas-tugas tertentu yang penting dan mendesak di suatu daerah
atau desa, misalnya penanganan bencana alam;
2.
ada suatu tugas
tertentu yang tidak mungkin diserahkan kepada daerah, tetapi untuk kurun waktu
tertentu perlu dilaksanakan di daerah dan desa;
3.
dalam rangka
mempersiapkan daerah/desa untuk dapat mengelola suatu tugas tertentu yang
nantinya dapat diserahkan kepada daerah dan desa sebagai urusan rumah tangganya
sendiri.
Dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004, tugas pembantuan diartikan sebagai penugasan dari
pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten
atau kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten atau kota kepada desa
untuk melaksanakan tugas tertentu. Sementari itu, dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014, tugas pembantuan diartikan sebagai penugasan dari Pemerintah Pusat
kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada
Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah provinsi.
Dengan demikian,
tugas pembantuan adalah asas untuk turut sertanya Pemerintah daerah dalam
melaksanakan urusan pemerintah pusat yang ditugaskan kepada pemerintah daerah
oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah tingkat atasnya dengan kewajiban
mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya. Lahirnya tugas pembantuan
didasarkan pada adanya pertimbangan spesifik terhadap suatu tugas yang akan
lebih baik jika dilaksanakan oleh aparat pemerintahan daerah. Tugas pembantuan
dalam beberapa hal juga menjadi ujian untuk meningkatkan kapasitas daerah dalam
pelaksanaan otonomi secara lebih nyata dan bertanggung jawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar