Minggu, 17 Mei 2020

Asas-Asas Pemerintahan Daerah dalam Pengaturan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah

Satryo Sasono 

Fakultas Hukum UNS


A.  Pengaturan Asas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

Berbicara mengenai pemerintah daerah, dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945, Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Sebagai negara kesatuan dan karena adanya faktor-faktor geografis, susunan masyarakat, ikatan-ikatan keagamaan kebudayaan, adat istiadat, politik, sifat, dan tingkat perekonomian yang berbeda-beda, maka sistem yang dipandang cocok adalah sistem desentralisasi. Kemudian, kembali pada Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 dan Pasal 18B. Berdasarkan pasal tersebut, maka daerah-daerah bersifat otonom, (streek and locale rechtsgemeens-chappen) yang diatur dan ditetapkan dengan undang-undang. Pada daerah yang bersifat otonom terdapat badan perwakilan daerah. Dalam literatur, di Indonesia terdapat ± 250 "zelfbesturende landschappen” dan “volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya.

Asas penyelenggaraan pemerintahan di Daerah atau kedaerahan merupakan konsekuensi dari Pasal 18, 18A, dan 18B Undang-Undang Dasar 1945. Asas pemerintah daerah di Indonesia saat ini diatur dalam Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yakni :

“Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di Daerah dilaksanakan berdasarkan asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan.”

Artinya terdapat 3 (tiga) asas penyelenggaraan pemerintahan di daerah yang masih berlaku sampai saat ini adalah Asas Desentralisasi, Asas Dekonsentrasi, dan Tugas pembantuan. Konsekuensi dari ketiga asas tersebut adalah sebagai berikut :

1.         Otonomi daerah, sebagai akibat digunakan asas desentralisasi lalu dibentuk daerah otonom yang diberikan hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan yang berlaku.

2.         Daerah Otonom, yaitu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan yang berlaku.

3.         Wilayah administratif, sebagai akibat diterapkan asas dekonsentrasi.

 

B.  Asas Desentralisasi

Pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 beserta penjelasannya, desentralisasi diartikan penyerahan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi. Urusan-urusan pemerintah yang telah diserahkan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi pada dasarnya menjadi wewenang dan tanggung jawab Daerah sepenuhnya. Dalam hal ini, prakarsa sepenuhnya diserahkan kepada daerah, baik yang menyangkut kebijaksanaan, pembiayaan, pelaksanaan maupun yang menyangkut segi-segi pengawasan.

Asas desentralisasi dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia adalah penyerahan wewenang pemerintahan kepada Daerah Otonom untuk menjadi urusan rumah tangga Daerah Otonom. Adapun ciri-cirinya adalah:

1.    Adanya penyerahan kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusanpemerintahan tertentu.

2.    Adanya urusan pemerintahan yang menjadi urusan rumah tangga daerah.

3.    Adanya lembaga perwakilan daerah yang bersama-sama dengan Kepala

4.    daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi urusan rumah tangga daerah.

5.    Dimilikinya sumber pendapatan daerah dan harta kekayaan daerah sendiri yang diperlukan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang menjadi urusan rumah tangga daerah.

Ada beberapa keuntungan dari penyelenggaraan pemerintahan, berdasarkan asas desentralisasi, yaitu:

1.      Desentralisasi memberi penilaian yang lebih tepat terhadap Daerah dan penduduk yang beraneka ragam.

2.      Desentralisasi meringankan beban pemerintah karena Pemerintah Pusat tidak mungkin mengenal seluruh/ segala kepentingan dan kebutuhan setempat serta tidak mungkin pula mengetahui bagaimana memenuhi kebutuhan tersebut sebaik-baiknya. Daerahlah yang mengetahui sedalam-dalamnya kebutuhan Daerah dan bagaimana memenuhinya.

3.      Dengan desentralisasi dapat dihindarkan adanya beban yang melampaui batas dari Perangkat Pusat yang disebabkan tunggakan kerja.

4.      Pada desentralisasi unsur individu atau Daerah lebih menonjol karena dalam ruang lingkup yang sempit, seseorang dapat lebih mempergunakan pengaruhnya daripada dalam masyarakat yang luas.

5.      Pada Desentralisasi, masyarakat setempat dapat berkesempatan ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan ia tidak hanya merasa sebagai objek saja.

6.      Desentralisasi meningkatkan turut sertanya masyarakat setempat dalam melakukan kontrol terhadap segala tindakan dan tingkah laku Pemerintah. Ini dapat menghasilkan pemborosan dan dalam hal tertentu desentralisasi dapat meningkatkan daya guna dan hasil guna.

Lebih jauh diungkapkan bahwa di samping keuntungan-keuntungan, desentralisasi juga mengundang beberapa kelemahan, yaitu berikut ini :

1.      Oleh karena besarnya organ-organ pemerintahan, maka struktur pemerintahan bertambah kompleks, hal mana mempersulit koordinasi.

2.      Keseimbangan dan keserasian antara bermacam-macam kepentingan Daerah dapat lebih mudah terganggu.

3.      Khusus mengenai desentralisasi sosial, dapat mendorong timbulnya apa yang disebut Daerahisme atau Provinsialisme.

4.      Keputusan yang diambil memerlukan waktu yang lama karena membutuhkan perundingan-perundingan yang lama.

5.      Dalam penyelenggaraan desentralisasi diperlukan biaya yang lebih banyak dan sulit untuk memperoleh keseragaman dan kesederhanaan.

 

C.  Asas Dekonsentrasi

Menurut Koesoemahatmaja (dalam Fauzan, 2006:53) dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari alat perlengkapan negara tingkatan lebih atas kepada bawahannya guna melancarkan pekerjaan di dalam melaksanakan tugas pemerintahan, misalnya pelimpahan kekuasaan dari wewenang menteri kepada Gubernur, dari Gubernur kepada Bupati dan seterusnya. Menurut Rondinelli (dalam Koswara, 2002:47) dekonsentrasi pada hakikatnya hanya merupakan pembagian kewenangan dan tanggung jawab administratif antara departemen pusat dengan pejabat pusat di lapangan.

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dekonsentrasi diartikan sebagai pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Sementaras secara normatif, dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menjelaskan bahwa :

“Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab.”

 

Kemudian, urusan pemerintahan umum dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b urusan pemerintahan absolut menempatkan pelimpahan wewenang kepada Instansi Vertikal yang ada di Daerah atau Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat yang berdasar atas asas Dekonsentrasi. Jika dicermati sifat dari masing-masing kewenangan pemerintahan pusat, memang ada hal-hal yang tidak dapat dilimpahkan sehingga diurus secara dekonsentrasi, yaitu urusan pertahanan, peradilan, moneter fiskal, kepolisian dan hubungan luar negeri. Pada prinsipnya, urusan pemerintahan yang didekosehingga pengertian ini juga lazim disebut teori residu atau sisa. Contoh penerapan asas dekonsentrasi adalah pendelegasian wewenang dari Presiden kepada para Menteri, pendelegasian wewenang dari Gubernur kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah.nsentrasikan adalah sisa urusan yang tidak diserahkan ke daerah.

 

D.  Asas Tugas Pembantuan

Tugas pembantuan adalah tugas yang ditujukan untuk turut serta melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada pemerintah daerah oleh pemerintah atau pemerintah daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya. Tidak semua urusan pemerintah dapat diserahkan kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya, jadi beberapa urusan pemerintah masih tetap merupakan urusan pemerintah pusat.

Akan tetapi, berat sekali bagi pemerintah untuk menyelenggarakan seluruh urusan pemerintahan dan daerah yang menjadi wewenang dan tanggung jawab itu atas dasar dekonsentrasi, mengingat terbatasnya kemampuan perangkat pemerintahan pusat di daerah, dan juga ditinjau dari segi daya guna dan hasil guna adalah kurang dapat dipertanggungjawabkan apabila semua urusan pemerintah pusat harus dilaksanakan sendiri oleh perangkatnya di daerah karena hal itu akan memerlukan tenaga dan biaya yang sangat besar jumlahnya. Lagi pula, mengingat sifatnya berbagai urusan sulit untuk dapat dilaksanakan dengan baik tanpa ikut sertanya pemerintah daerah yang bersangkutan.

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang dimaksud dengan Tugas Pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan desa dan dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan. Pelaksanaan tugas pembantuan dimaksudkan untuk memperlancar tugas-tugas pemerintah di daerah sehingga pemerintah tidak perlu membentuk lembaga tersendiri di daerah demi efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas tertentu. Sebenarnya di dalam asas pembantuan terkandung pengertian pemberian kewenangan otonomi yang tidak penuh atau dapat juga dikatakan sebagai fase antara menuju kemandirian pemerintahan daerah dan desa. Kelihatannya, asas tugas pembantuan ini tetap dipertahankan atas dasar pertimbangan:

1.      untuk mengakomodasi tugas-tugas tertentu yang penting dan mendesak di suatu daerah atau desa, misalnya penanganan bencana alam;

2.      ada suatu tugas tertentu yang tidak mungkin diserahkan kepada daerah, tetapi untuk kurun waktu tertentu perlu dilaksanakan di daerah dan desa;

3.      dalam rangka mempersiapkan daerah/desa untuk dapat mengelola suatu tugas tertentu yang nantinya dapat diserahkan kepada daerah dan desa sebagai urusan rumah tangganya sendiri.

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tugas pembantuan diartikan sebagai penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten atau kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten atau kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Sementari itu, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, tugas pembantuan diartikan sebagai penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi.

Dengan demikian, tugas pembantuan adalah asas untuk turut sertanya Pemerintah daerah dalam melaksanakan urusan pemerintah pusat yang ditugaskan kepada pemerintah daerah oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya. Lahirnya tugas pembantuan didasarkan pada adanya pertimbangan spesifik terhadap suatu tugas yang akan lebih baik jika dilaksanakan oleh aparat pemerintahan daerah. Tugas pembantuan dalam beberapa hal juga menjadi ujian untuk meningkatkan kapasitas daerah dalam pelaksanaan otonomi secara lebih nyata dan bertanggung jawab.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Perbandingan Sistem Ekonomi

  “SISTEM EKONOMI ISLAM DALAM PERBANDINGAN  DENGAN EKONOMI KAPITALIS DAN SOSIALIS” Satryo Sasono 1 1.     Sistem Ekonomi Kapitalis Sis...