Kamis, 11 Oktober 2018

Lanjutan.... (Jilid 2) "Pancasila Zaman Kemerdekaan"

C.      Pancasila yang Disahkan (Dasar Negara Pancasila)
Hasil gambar untuk pancasila
Dalam perjalanannya menuju pengesahan Pancasila sebagai dasar negara walaupun telah terjadi consensus secara luas dan rancangan UUD 1945 telah disetujui. Satu orang yakni Muhammad Yamin dan bagi kaum anggota golongan kebangsaan, pencantuman “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta dianggap sebagai pemberian hak khusus terhadap golongan Islam. Hal yang mengganjal ini dianggap tidak cocok bagi perekat seluruh keberagaman di Indonesia.
Sebuah kondisi canggung seperti ini terus mewarnai perjalanan BPUPKI hinga dibubarkan dan digantikan oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang nantinya bertugas mengesahkan Pancasila sebagai Dasar Negara.

Pada tanggal 9 Agustus dibentuklah PPKI dengan ketua Ir. Soekarno dan wakilnya Drs. Moh. Hatta. PPKI beranggotakan 21 orang termasuk ketua dan wakil. Panitia ini sangat penting fungsinya, apalagi setelah proklamasi keanggotaannya disempurnakan, sehingga bukan lagi merupakan badan buatan Jepang untuk menerima hadiah kemerdekaan dari Jepang. Setelah Jepang takluk kepada Sekutu dan kemudian diucapkan Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 badan ini kemudian memiliki sifat nasional Indonesia.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan. PPKI memilih Ir.Soekarno dan Muhammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Di saat yang bersamaan, PPKI akhirnya menyetujui naskah baru “Piagam Jakarta” sebagai Pembukaan UUD 1945, kecuali “tujuh kata” (dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya) di belakang sila ketuhanan.  Dalam perjalanannya “tujuh kata” tersebut diganti dengan “Yang Maha Esa” sebagai representasi keberagaman di Indonesia. Oleh karena itu dalam batang tubuh UUD 1945 disetujui pula Pasal 6 ayat 1 : “Presiden ialah orang Indonesia asli”, tanpa imbuhan  yang menyatakan “yang beragama islam”
Awal setelah naskah baru “Piagam Jakarta” disahkan kekecewaan sebagian pemimpin golongan Islam lebih mereflesikan masih menggeloranya “politik identitas”, yang pada umumnya lebih didefinisikan oleh ingatan pedih masa penjajahan bahwa kaum Islam yang begitu tersingkir dari pemerintahan. Namun, wajib disadari bahwa dengan pencoretan “tujuh kata”, moral kekeluargaan dan “gotong royong” sebagai dasar Pancasila memperoleh substansi yang penuh. Negara Indonesia benar-benar menjadi negara persatuan yang mengatasi paham perseorangan dan golongan. Dalam penjelasan Pembukaan UUD 1945 tidak ada lagi pernyataan yang mengagungkan atau menonjolkan salah satu golongan manapun yang ada di Indonesia.
Demikianlah proses panjang dari diskusi dan perang intelektual tokoh bangsa dalam tujuan konseptualisasi Pancasila sebagai Dasar Negara Merdeka. Disadari atau tidak bahwa dalam proses konseptualisasi Pancasila sebagai Dasar Negara telah melibatkan banyak partisipasi dari berbagai unsur dan golongan yang ada di Indonesia.  

Dinamika Pancasila .....
D.      Dinamika Pancasila Masa RIS (29 Desember 1949 – 17 Desember 1950)
Setelah dilakukan Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, ternyata tidak serta merta mengakhiri perjuangan panjang sejarah Indonesia untuk terlepas dari belenggu penjajahan. Eksistensi dan kemampuan Pancasila kembali diuji dengan masuknya Agresi Militer Belanda pertama pada tahun 1947. Dimana Belanda mengusik persatuan yang didambakan Pancasila dengan membentuk negara “boneka” seperti Negara Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, dan Negara Jawa Timur di dalam negara RepubIik Indonesia.
Tidak berhenti begitu saja, Belanda kembali melakukan Agresi Militer ke II dan melanggar perjanjian Indonesia – Belanda pada 1948.  Dimana pada akhirnya terjadi perubahan bentuk negara dari negara kesatuan menjadi negara serikat mengharuskan adanya penggantian UUD. Oleh karena itu, disusunlah naskah UUD Republik Indonesia Serikat. Rancangan UUD tersebut dibuat oleh delegasi RI dan delegasi BFO pada Konferensi Meja Bundar.
Setelah kedua belah pihak menyetujui rancangan tersebut, maka mulai 27 Desember 1949 diberlakukan suatu UUD yang diberi nama Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Konstitusi tersebut terdiri atas Mukadimah yang berisi 4 alinea, Batang Tubuh yang berisi 6 bab dan 197 pasal, serta sebuah lampiran. Mengenai bentuk negara dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) Konstitusi RIS yang berbunyi “Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat adalah negara hukum yang demokratis dan berbentuk federasi.”
Dengan berubah menjadi negara serikat (federasi), maka di dalam RIS terdapat beberapa negara bagian yang masing-masing memiliki kekuasaan pemerintahan di wilayah negara bagiannya. Negara-negara bagian itu adalah: Negara Republik Indonesia, Indonesia Timur, Pasundan, Jawa Timur, Madura, Sumatera Timur, dan Sumatera Selatan. Selain itu, terdapat pula satuan-satuan kenegaraan.
Selama konstitusi RIS, Pancasila yang berada dalam UUD 1945 tidak berlaku diseluruh wilayah Nusantara. Melainkan hanya diwilayah negara bagian Republik Indonesia yang tentu saja bertentangan dengan idealitas Persatuan yang didambakan dalam perumusan Pancasila sebelumnya.

E.       Eksistensi Pancasila Masa UUDS 1950 (17 Desember 1950 – 5 Juli 1959)
Pada 27 Desember 1949 Belanda yang telah mengakui Kedaulatan Indonesia mengembalikan pemerintahan ke tangan Indonesia. Hasil yang disepakati antara RIS-RI adalah kembalinya negara ke bentuk “Kesatuan” . Ternyata sejak awal dibentuknya UUDS 1950 telah mengisyaratkan penyimpangan bahwa Indonesia tidak menganut Pancasila yang ada dalam UUD 1945.
Permasalahannya ialah ketika Indonesia kembali Negara Kesatuan, ternyata tidak menggunakan Undang-Undang Dasar 1945 sehingga menimbulkan persoalan kehidupan bernegara dikemudian hari. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dilaksanakanlah Pemilu yang pertama pada 1955. Pemilu ini dilaksanakan untuk membentuk dua badan perwakilan, yaitu Badan Konstituante (yang akan mengemban tugas membuat Konstitusi/Undang-Undang Dasar) dan DPR (yang akan berperan sebagai parlemen).
Pada 1956, Badan Konstituante mulai bersidang di Bandung untuk membuat UUD yang definitif sebagai pengganti UUDS 1950. Sebenarnya telah banyak pasal-pasal yang dirumuskan, akan tetapi sidang menjadi berlarut-larut ketika pembicaraan memasuki kawasan dasar negara.
Sebagian anggota menghendaki Islam sebagai dasar negara, sementara sebagian yang lain tetap menghendaki Pancasila sebagai dasar negara. Kebuntuan ini diselesaikan lewat voting, tetapi selalu gagal mencapai putusan karena selalu tidak memenuhi syarat voting yang ditetapkan. Akibatnya, banyak anggota Konstituante yang menyatakan tidak akan lagi menghadiri sidang. Keadaan ini memprihatinkan Soekarno sebagai Kepala Negara.
Akhirnya akibat ketidak stabilan politik dan konstituante tak kunjung membuahkan hasil, pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengambil langkah “darurat” dengan mengeluarkan dekrit.
Pergantian pemerintahan dalam waktu yang singkat menyadarkan elit bangsa bahwa sistem parlementer memberi peluang terhadap ketidakstabilan politik. Dalam peringatan Sumpah Pemuda tahun 1957, Presiden Sukarno menyatakan bahwa segala kesulitan yang dihadapi negara disebabkan oleh banyaknya partai-partai politik.
Partai politik yang saling bersaing untuk memperoleh kedudukan yang kuat di parlemen berpengaruh terhadap terjadinya perpecahan dalam tubuh pemerintahan. Untuk menyelamatkan negara dari perpecahan, maka partai-partai politik tersebut harus dibubarkan. Dalam pemikiran Presiden Sukarno, model pemerintahan yang baik adalah Demokrasi Terpimpin.

F.      Penyelewengan Pemaknaan Pancasila Era UUD 1945 (5 Juli 1959 – 1970)
Sesudah dikeluarkannya Dekrit 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno, terjadi beberapa penyelewengan terhadap UUD 1945. Antara lain, Soekarno diangkat sebagai presiden seumur hidup melalui TAP No. III/MPRS/1960. Selain itu, kekuasaan Presiden Soekarno berada di puncak piramida, artinya berada pada posisi tertinggi yang membawahi ketua MPRS, ketua DPR, dan ketua DPA yang pada waktu itu diangkat Soekarno sebagai menteri dalam kabinetnya sehingga mengakibatkan sejumlah intrik politik dan perebutan pengaruh berbagai pihak dengan berbagai cara, baik dengan mendekati maupun menjauhi presiden.
Pertentangan antarpihak begitu keras, seperti yang terjadi antara tokoh PKI dengan perwira Angkatan Darat (AD) sehingga terjadilah penculikan dan pembunuhan sejumlah perwira AD yang dikenal dengan peristiwa Gerakan 30 September (G30S PKI).
Peristiwa G30S PKI menimbulkan peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Peralihan kekuasan itu diawali dengan terbitnya Surat Perintah dari Presiden Soekarno kepada Letnan Jenderal Soeharto, yang di kemudian hari terkenal dengan nama Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret). Surat itu intinya berisi perintah presiden kepada Soeharto agar “mengambil langkahlangkah pengamanan untuk menyelamatkan keadaan”. Supersemar ini dibuat di Istana Bogor dan dijemput oleh Basuki Rahmat, Amir Mahmud, dan M. Yusuf. Supersemar ini pun juga menjadi kontroversial di belakang hari.
Supersemar yang diberikan oleh Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto itu kemudian dikuatkan dengan TAP No. IX/MPRS/1966 pada 21 Juni 1966. Dengan demikian, status supersemar menjadi berubah: Mula-mula hanya sebuah surat perintah presiden kemudian menjadi ketetapan MPRS. Jadi, yang memerintah Soeharto bukan lagi Presiden Soekarno, melainkan MPRS. Hal ini merupakan fakta sejarah terjadinya peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto.
 Bulan berikutnya, tepatnya 5 Juli 1966, MPRS mengeluarkan TAP No. XVIII/ MPRS/1966 yang isinya mencabut TAP No. III/MPRS/1960 tentang Pengangkatan Soekarno sebagai Presiden Seumur Hidup. Konsekuensinya, sejak saat itu Soekarno bukan lagi berstatus sebagai presiden seumur hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Perbandingan Sistem Ekonomi

  “SISTEM EKONOMI ISLAM DALAM PERBANDINGAN  DENGAN EKONOMI KAPITALIS DAN SOSIALIS” Satryo Sasono 1 1.     Sistem Ekonomi Kapitalis Sis...