Lanjutan.... (Jilid 2) "Pancasila Zaman Kemerdekaan"
C.
Pancasila yang Disahkan (Dasar Negara Pancasila)
Dalam perjalanannya menuju pengesahan Pancasila
sebagai dasar negara walaupun telah terjadi consensus secara luas dan rancangan
UUD 1945 telah disetujui. Satu orang yakni Muhammad Yamin dan bagi kaum anggota
golongan kebangsaan, pencantuman “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta dianggap
sebagai pemberian hak khusus terhadap golongan Islam. Hal yang mengganjal ini
dianggap tidak cocok bagi perekat seluruh keberagaman di Indonesia.
Sebuah kondisi canggung seperti ini terus mewarnai
perjalanan BPUPKI hinga dibubarkan dan digantikan oleh PPKI (Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) yang nantinya bertugas mengesahkan Pancasila sebagai
Dasar Negara.
Pada tanggal 9 Agustus dibentuklah PPKI dengan ketua
Ir. Soekarno dan wakilnya Drs. Moh. Hatta. PPKI beranggotakan 21 orang termasuk
ketua dan wakil. Panitia ini sangat penting fungsinya, apalagi setelah
proklamasi keanggotaannya disempurnakan, sehingga bukan lagi merupakan badan
buatan Jepang untuk menerima hadiah kemerdekaan dari Jepang. Setelah Jepang
takluk kepada Sekutu dan kemudian diucapkan Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal
17 Agustus 1945 badan ini kemudian memiliki sifat nasional Indonesia.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan. PPKI memilih Ir.Soekarno dan Muhammad
Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Di saat yang bersamaan, PPKI akhirnya menyetujui
naskah baru “Piagam Jakarta” sebagai Pembukaan UUD 1945, kecuali “tujuh kata”
(dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya) di
belakang sila ketuhanan. Dalam
perjalanannya “tujuh kata” tersebut diganti dengan “Yang Maha Esa” sebagai
representasi keberagaman di Indonesia. Oleh karena itu dalam batang tubuh UUD
1945 disetujui pula Pasal 6 ayat 1 : “Presiden ialah orang Indonesia asli”,
tanpa imbuhan yang menyatakan “yang
beragama islam”
Awal setelah naskah baru “Piagam Jakarta” disahkan
kekecewaan sebagian pemimpin golongan Islam lebih mereflesikan masih
menggeloranya “politik identitas”, yang pada umumnya lebih didefinisikan oleh
ingatan pedih masa penjajahan bahwa kaum Islam yang begitu tersingkir dari
pemerintahan. Namun, wajib disadari bahwa dengan pencoretan “tujuh kata”, moral
kekeluargaan dan “gotong royong” sebagai dasar Pancasila memperoleh substansi
yang penuh. Negara Indonesia benar-benar menjadi negara persatuan yang
mengatasi paham perseorangan dan golongan. Dalam penjelasan Pembukaan UUD 1945
tidak ada lagi pernyataan yang mengagungkan atau menonjolkan salah satu
golongan manapun yang ada di Indonesia.
Demikianlah
proses panjang dari diskusi dan perang intelektual tokoh bangsa dalam tujuan
konseptualisasi Pancasila sebagai Dasar Negara Merdeka. Disadari atau tidak
bahwa dalam proses konseptualisasi Pancasila sebagai Dasar Negara telah
melibatkan banyak partisipasi dari berbagai unsur dan golongan yang ada di
Indonesia.
Dinamika Pancasila .....
D.
Dinamika Pancasila Masa RIS (29 Desember 1949 – 17
Desember 1950)
Setelah dilakukan Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus
1945, ternyata tidak serta merta mengakhiri perjuangan panjang sejarah
Indonesia untuk terlepas dari belenggu penjajahan. Eksistensi dan kemampuan
Pancasila kembali diuji dengan masuknya Agresi Militer Belanda pertama pada
tahun 1947. Dimana Belanda mengusik persatuan yang didambakan Pancasila dengan
membentuk negara “boneka” seperti Negara Sumatera Timur, Negara Indonesia
Timur, Negara Pasundan, dan Negara Jawa Timur di dalam negara RepubIik Indonesia.
Tidak berhenti begitu saja, Belanda kembali melakukan
Agresi Militer ke II dan melanggar perjanjian Indonesia – Belanda pada
1948. Dimana pada akhirnya terjadi perubahan
bentuk negara dari negara kesatuan menjadi negara serikat mengharuskan adanya
penggantian UUD. Oleh karena itu, disusunlah naskah UUD Republik Indonesia Serikat.
Rancangan UUD tersebut dibuat oleh delegasi RI dan delegasi BFO pada Konferensi
Meja Bundar.
Setelah kedua belah pihak menyetujui rancangan
tersebut, maka mulai 27 Desember 1949 diberlakukan suatu UUD yang diberi nama
Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Konstitusi tersebut terdiri atas
Mukadimah yang berisi 4 alinea, Batang Tubuh yang berisi 6 bab dan 197 pasal,
serta sebuah lampiran. Mengenai bentuk negara dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1)
Konstitusi RIS yang berbunyi “Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan
berdaulat adalah negara hukum yang demokratis dan berbentuk federasi.”
Dengan berubah menjadi negara serikat (federasi),
maka di dalam RIS terdapat beberapa negara bagian yang masing-masing memiliki
kekuasaan pemerintahan di wilayah negara bagiannya. Negara-negara bagian itu adalah:
Negara Republik Indonesia, Indonesia Timur, Pasundan, Jawa Timur, Madura, Sumatera
Timur, dan Sumatera Selatan. Selain itu, terdapat pula satuan-satuan kenegaraan.
Selama konstitusi RIS, Pancasila yang berada dalam
UUD 1945 tidak berlaku diseluruh wilayah Nusantara. Melainkan hanya diwilayah
negara bagian Republik Indonesia yang tentu saja bertentangan dengan idealitas
Persatuan yang didambakan dalam perumusan Pancasila sebelumnya.
E.
Eksistensi Pancasila Masa UUDS 1950 (17 Desember
1950 – 5 Juli 1959)
Pada 27 Desember 1949 Belanda yang telah mengakui
Kedaulatan Indonesia mengembalikan pemerintahan ke tangan Indonesia. Hasil yang
disepakati antara RIS-RI adalah kembalinya negara ke bentuk “Kesatuan” .
Ternyata sejak awal dibentuknya UUDS 1950 telah mengisyaratkan penyimpangan
bahwa Indonesia tidak menganut Pancasila yang ada dalam UUD 1945.
Permasalahannya ialah ketika Indonesia kembali
Negara Kesatuan, ternyata tidak menggunakan Undang-Undang Dasar 1945 sehingga
menimbulkan persoalan kehidupan bernegara dikemudian hari. Berdasarkan
Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dilaksanakanlah Pemilu yang pertama pada
1955. Pemilu ini dilaksanakan untuk membentuk dua badan perwakilan, yaitu Badan
Konstituante (yang akan mengemban tugas membuat Konstitusi/Undang-Undang Dasar)
dan DPR (yang akan berperan sebagai parlemen).
Pada 1956, Badan Konstituante mulai bersidang di Bandung
untuk membuat UUD yang definitif sebagai pengganti UUDS 1950. Sebenarnya telah
banyak pasal-pasal yang dirumuskan, akan tetapi sidang menjadi berlarut-larut
ketika pembicaraan memasuki kawasan dasar negara.
Sebagian anggota menghendaki Islam sebagai dasar
negara, sementara sebagian yang lain tetap menghendaki Pancasila sebagai dasar
negara. Kebuntuan ini diselesaikan lewat voting, tetapi selalu gagal mencapai
putusan karena selalu tidak memenuhi syarat voting yang ditetapkan. Akibatnya, banyak
anggota Konstituante yang menyatakan tidak akan lagi menghadiri sidang. Keadaan
ini memprihatinkan Soekarno sebagai Kepala Negara.
Akhirnya akibat ketidak stabilan politik dan
konstituante tak kunjung membuahkan hasil, pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno
mengambil langkah “darurat” dengan mengeluarkan dekrit.
Pergantian pemerintahan dalam waktu yang singkat
menyadarkan elit bangsa bahwa sistem parlementer memberi peluang terhadap
ketidakstabilan politik. Dalam peringatan Sumpah Pemuda tahun 1957, Presiden
Sukarno menyatakan bahwa segala kesulitan yang dihadapi negara disebabkan oleh
banyaknya partai-partai politik.
Partai politik yang saling bersaing untuk memperoleh
kedudukan yang kuat di parlemen berpengaruh terhadap terjadinya perpecahan
dalam tubuh pemerintahan. Untuk menyelamatkan negara dari perpecahan, maka
partai-partai politik tersebut harus dibubarkan. Dalam pemikiran Presiden
Sukarno, model pemerintahan yang baik adalah Demokrasi Terpimpin.
F.
Penyelewengan Pemaknaan Pancasila Era UUD 1945 (5
Juli 1959 – 1970)
Sesudah dikeluarkannya Dekrit 5 Juli 1959 oleh
Presiden Soekarno, terjadi beberapa penyelewengan terhadap UUD 1945. Antara
lain, Soekarno diangkat sebagai presiden seumur hidup melalui TAP No.
III/MPRS/1960. Selain itu, kekuasaan Presiden Soekarno berada di puncak
piramida, artinya berada pada posisi tertinggi yang membawahi ketua MPRS, ketua
DPR, dan ketua DPA yang pada waktu itu diangkat Soekarno sebagai menteri dalam
kabinetnya sehingga mengakibatkan sejumlah intrik politik dan perebutan
pengaruh berbagai pihak dengan berbagai cara, baik dengan mendekati maupun menjauhi
presiden.
Pertentangan antarpihak begitu keras, seperti yang
terjadi antara tokoh PKI dengan perwira Angkatan Darat (AD) sehingga terjadilah
penculikan dan pembunuhan sejumlah perwira AD yang dikenal dengan peristiwa
Gerakan 30 September (G30S PKI).
Peristiwa G30S PKI menimbulkan peralihan kekuasaan
dari Soekarno ke Soeharto. Peralihan kekuasan itu diawali dengan terbitnya
Surat Perintah dari Presiden Soekarno kepada Letnan Jenderal Soeharto, yang di
kemudian hari terkenal dengan nama Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret).
Surat itu intinya berisi perintah presiden kepada Soeharto agar “mengambil langkahlangkah
pengamanan untuk menyelamatkan keadaan”. Supersemar ini dibuat di Istana
Bogor dan dijemput oleh Basuki Rahmat, Amir Mahmud, dan M. Yusuf. Supersemar
ini pun juga menjadi kontroversial di belakang hari.
Supersemar yang diberikan oleh Presiden Soekarno
kepada Letjen Soeharto itu kemudian dikuatkan dengan TAP No. IX/MPRS/1966 pada
21 Juni 1966. Dengan demikian, status supersemar menjadi berubah: Mula-mula hanya
sebuah surat perintah presiden kemudian menjadi ketetapan MPRS. Jadi, yang memerintah
Soeharto bukan lagi Presiden Soekarno, melainkan MPRS. Hal ini merupakan fakta
sejarah terjadinya peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto.
Bulan berikutnya, tepatnya 5 Juli 1966, MPRS
mengeluarkan TAP No. XVIII/ MPRS/1966 yang isinya mencabut TAP No.
III/MPRS/1960 tentang Pengangkatan Soekarno sebagai Presiden Seumur Hidup.
Konsekuensinya, sejak saat itu Soekarno bukan lagi berstatus sebagai presiden
seumur hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar