Meninjau Kembali Dampak Perang Dingin
terhadap
Kehidupan Politik dan Keadaan Ekonomi
Global
-0o0-
Satryo Sasono
-0o0-
GAMBARAN UMUM
Berakhirnya Perang Dunia II menyebabkan
Amerika Serikat dan Uni Soviet keluar sebagai pemenang perang dan muncul
sebagai negara adikuasa/super power yang kemudian memainkan peranan di panggung
politik, ekonomi dan Hubungan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
dengan militer dunia internasional. Lahirnya kekuatan adidaya baru yang
mewakili kepentingan Blok Barat dan Blok Timur menimbulkan suasana yang tidak
representatif. Pertentangan di antara dua kekuatan dunia tersebut melahirkan
Perang Dingin (the cold war).
Sehingga ada dua pola pikir tentang
bagaimana hubungan AS-Uni Soviet terhadap negara lain dan bagaimana hubungan
antarnegara. Winston Churchill, seorang realis, menghendaki pembagian wilayah
pengaruh antara AS dan Uni Soviet secara jelas, khususnya di Eropa. Sementara
Roosevelt, seorang idealis menghendaki suatu kerjasama dan hubungan
komplementer bagi tiap negara dengan mendudukkan negara-negara besar sebagai
penjamin – penjaga perdamaian dunia. Hasilnya dibentuklah PBB dengan
menempatkan lima negara besar sebagai pemegang hak veto. Namun dalam prakteknya
tujuan ideal ini tidak berjalan dengan semestinya, karena baik AS dan Uni
Soviet selalu memandang curiga dan merasa terancam satu sama lain. Akibatnya,
terjadilah perang dingin antara Uni Soviet sebagai blok Timur dan Amerika
Serikat sebagai blok Barat (McNamara 1989, 23).
Perang Dingin merupakan suatu kondisi dunia
yang hidup dalam bayangan perang nuklir,
suatu kondisi dimana dunia diwarnai hubungan ketegangan ”damai tetapi
tidak damai” karena pelatuk konflik perang nuklir masing-masing pihak siap
meledak (Kort 1998, 4). Dalam
perkembangannya, perang dingin makin
menajam seiring dengan perlombaan senjata antara AS-Uni Soviet. Masing-masing
berusaha saling mengungguli baik dalam varitas maupun kualitas. Usaha peredaan
ketegangan sudah dilakukan, namun sebegitu jauh masih bersifat ambivalen.
-0O0-
AKAR KONFLIK
Perang
Dingin ditandai dengan adanya sikap ketidakpercayaan, kecurigaan, dan kesalahan
pemahaman antara Blok Barat dan Blok Timur, Amerika Serikat dituduh menjalankan
politik imperialisme untuk memengaruhi dunia, sementara Uni Soviet dianggap
telah melakukan perluasan hegemoni atas negara-negara demokrasi melalui
ideologi komunis .Pengaruh Uni Soviet dalam mengembangkan hegemoninya di Eropa
telah berkembang dengan cepat.
Dengan
keadaan tersebut, Amerika Serikat merasa berkewajiban mencegah berkembangnya
gerakan komunis. Amerika Serikat menyusun strategi politik global yang dikenal
dengan containment policy. Tujuan containment policy adalah untuk mencegah
berkembangnya pengaruh suatu negara atau suatu sistem politik daripihak lawan
Sistem politik yang menjadi lawan Amerika adalah komunisme. Oleh karena itu,
containment policy dikenal pula sebagai containment of communism.
Menurut Robert McNamara, konflik Perang
Dingin ini karena AS telah melakukan salah persepsi (misperception)
tentang ideologi komunis yang menekankan “class struggle”. Pertama, doktrin “Socialism in One
Country”, yang oleh pihak Barat diartikan bahwa Uni Soviet menghendaki
sebagai satu-satunya negara sosialis yang menguasai dunia. Doktrin ini tampak
pada sikap keras Stalin, Lenin, dan
Kruschev. Kecurigaan itu makin besar dengan meluasnya pengaruh komunisme pada sejumlah Negara Dunia Ketiga yang
kemudian banyak beralih menjadi Negara komunis. Tercatat banyak negara komunis baru misalnya komunisme
Cina yang menang mengalahkan kaum Nasionalis (1949), Uni Soviet secara
sepihak mendirikan administrasi ekonomi di Jerman Timur (1947). Setelah
itu Polandia, Bulgaria dan Rumania
menjadi pemerintahan komunis (1947) yang kemudian disusul Chekoslovakia dan Hungaria. Melihat kenyataan
ini AS merasa khawatir bahwa negara-negara lain akan terpengaruh juga oleh
ideologi komunis.
Konflik
ideologi–politik berimplikasi pada
persaingan militer. Ibarat persaingan suatu perusahaan dalam pasar yang
sama, mereka sama-sama berkompetisi mencari metode optimal untuk menghasilkan
mekanisme pasar yang lebih menguntungkan. Uni Soviet berhasil ”menguasai”
negara-negara Eropa Timur. Melihat hal ini
AS tidak ingin “Finlandianisasi” kawasan Eropa akan terus berlangsung
untuk itu dibentuklah aliansi NATO (North Atlantic Treaty Organization) pada
tahun 1954. Sementara pada kawasan lain ia menjalin hubungan dengan Cina
Nasionalis (1954), membentuk ANZUS (1951), SEATO (1954), serta mengadakan
perjanjian dengan Iran, Turki dan Pakistan (McNamara, 1989: 46). Menanggapi kondisi ini, Uni Soviet membentuk WTO (Warsawa Treaty Organization)
1955, mendirikan Cominform
(Communist Information Bureau), serta meningkatkan inovasi militer dengan berhasil
diluncurkannya satelit sputnik (1957). Negara dunia ketiga menjadi obyek
pertarungan mereka, oleh karena itu beberapa tidak mau terseret dalam kelompok
ideologis antara dua super power. Lahirlah kelompok Non Blok yang ditandai
dengan KTT I di Beograd (1961).
-0O0-
ANALISIS 1
(KEHIDUPAN POLITIK GLOBAL)
Memasuki dasawarsa 1970-an, ada tiga bidang
pergeseran dalam kancah percaturan internasional. Pertama, di bidang politik,
jika sebelumnya AS melihat RRC sebagai musuh, kini berubah sebaliknya memandang
RRC sebagai sahabat yang bisa digunakan untuk ”menghancurkan” musuh utamanya
yaitu Uni Soviet. Komunike Shanghai 1972 merupakan babak baru
normalisasi AS- RRC.
Bagi AS, secara strategis hubungan ini
dimaksudkan untuk memecah kesatuan komunis; secara politis untuk memojokkan Uni
Soviet; dan secara ekonomis untuk memperluas perdagangannya karena China yang
berpenduduk terbesar dunia merupakan medan pasar yang sangat menguntungkan, di
samping itu untuk pelemparan barang ekspor Jepang yang diarasa sudah mulai
jenuh di AS.
Pendekatan
AS-China ini sangat memukul Uni Soviet. Apalagi
kenyataan bahwa berkat bantuan ekonomi AS, China berhasil mengembangkan
modernisasi ekonomi, militer, dan
teknologi nuklir. Uni Soviet yang merasa terjepit oleh hubungan AS –
Cina ini menjadi semakin merasa tidak aman, ia kemudian makin berpetualang di
sejumlah negara. Misalnya, pada tahun 1978 menjalin perjanjian persahabatan
(militer) dengan Vietnam (Finkelstein 1987) , invasi ke Afganistan. ..(1979),
invasi Ethiopia (1979) dan merestui invasi Vietnam ke Kamboja (1979)
Amerika Serikat berusaha menjadikan
negara-negara yang sedang berkembang menjadi negara demokrasi agar hak asasi
manusia dapat dijamin. Bagi negara-negara yang sebelumnya kalah seperti Jerman
dan Jepang berkembang pula kapitalisme selain demokrasi. Negara-negara tersebut
dapat sehaluan dengan AS dan merupakan negara pengaruhnya.
Uni Soviet dengan paham sosialis-kominunis
mendengungkan pembangunan negara dengan Rencana Lima Tahun. Cara tersebut
dilakukan dengan ditaktor bukan liberal. Bagi negara satelit (dibawah pengaruh)
Uni Soviet yang melakukan penyimpangan akan ditindak keras oleh US seperti
contohnya Polandia dan Hongaria. Demi kepentingan politik, ekonomi, dan militer
kedua negara adikuasa tersebut menjalankan politik pecah belah sehingga
beberapa negara menjadi terpecah seperti Korea, Vietnam, dan Jerman.Dampak
dalam bidang politik dapat juga kita lihat dari dibangunnya tembok berlin di
Jerman sebagai batas antara Jerman Barat dan Jerman Timur. Dalam perang dunia
kedua negara ini memang sudah terbagi menjadi 2, yaitu Jerman Barat yang
beribukota di Bonn dan Jerman Timur yang beribukota di Berlin.
Negara ini mengalami perpecahan karena adanya 2
paham yang berbeda berlaku di negara ini, yaitu liberal yang dianut jerman
barat dan Komunis yang dianut jerman timur. Dalam perjalanan pemerintahannya,
Jerman barat mengalami perkembangan yang jauh lebih pesat daripada Jerman
timur. Oleh sebab itu, banyak orang Jerman timur yang memutuskan untuk hijrah
ke Jerman barat. Namun karena saat itu terjadi perang dingin antara Amerika dan
Uni Soviet, Uni soviet merasa tersinggung dengan adanya orang-orang pindah ke
Jerman Barat. Kerena itu Uni soviet mendanai dan mendukung untuk membangun
sebuah tembok yang berada di kota berlin yang menyebabkan terbelahnya kota itu.
Selain itu di tembok ini, uni soviet juga
menyiagakan tentaranya agar menembaki orang-orang yang masih berani untuk
menyebrang. Kemudian tembok ini sangat dikenal orang sebagai simbol bagi perang
dingin.
-0O0-
ANALISIS 2
(KEHIDUPAN EKONOMI GLOBAL)
KAPITALISME vs KOMUNISME
Di bidang
ekonomi; sebenarnya dasar ideologi komunisme tidak menghendaki hubungan
dagang dengan pihak liberal (khususnya AS), tetapi karena untuk menanggulangi
resesi, pengangguran dan kepentingan
ekonomi nasional, Khruschev pemimpin UniSoviet saat itu melihat persepsi keamanan tidak hanya dilihat
dari aspek militer, tetapi juga aspek ekonomi. Karenanya dia berusaha membuka
hubungan dengan pihak Barat. Menurutnya, hubungan dagang bukan hanya sebagai
sesuatu yang perlu, melainkan suatu kebutuhan. Hubungan dagang ini meski dalam volume yang relatif tidak besar,
tetapi telah berpengaruh positif pada perbaikan ekonomi Uni Soviet, bahkan bisa mengembangkan jaringan transformasi,
otomotif maupun infrastruktur misalnya pembangunan jalan. Hubungan dagang itu
terus meningkat, pada tahun 1971 volume perdagangan AS ke Uni Soviet sejumlah
200 juta USD, tahun 1975 meningkat menjadi 2 miliar USD (Shanor, 1989: 173).
Pada perang dingin berlangsung dalam kurun 2
dekade, muncul dua kekuasaan perekonomian yang mengambil peran masing-masing di
dunia. Ekonomi liberal yang dipimpin oleh Amerika Serikat, dimana dalam
pergerakan perekonomian mereka senantiasa mengedepankan kebebasan dalam hal
investasi dan pengembangan dunia bisnis Negara mereka. Swasta asing diberi
kesempatan yang sama dengan perusahaan dalam negeri untuk bersaing dalam
monopoli bisnis perekonomian Negara. Artinya tidak ada perbedaan antara
pendatang dan masyarakat local yang telah memegang kuasa bisnis di daerah atau
Negara tersebut. Negara yang memerintah hanya sebagai alat untuk mengatur kebijakan
yang diambil berdasar kondisi terkini yang terjadi atas perusahaan yang ada di
Negara mereka.
Sebaliknya dengan Negara komunis dengan pimpinan
Uni Soviet, Negara yang memegang teguh komunis seluruh perekonomian Negara
berdasarkan atas kebersamaan. Sistem sentralis dimana pemerintah pusat yang
memegang kuasa kendali atas seluruh kegiatan perekonomian yang ada di Negara.
Paham komunis mengkhawatirkan akan timbulnya kesenjangan ekonomi yang timbul
apabila ada sebuah pihak yang mendominasi monopoli perekonomian Negara.
Dengan sistem sentralisasi yang diterapkan oleh
paham komunis diharapkan bahwa kesejahteraan dan kemakmuran yang didapat dapat
terjadi sebuah pemerataan terhadap seluruh rakyat di Negara pemegang paham
perekonomian komunis.
Selain itu, Negara komunis lebih memandang kaum
rendah seperti buruh dan petani dalam usahanya untuk mengembangkan usaha.
Sehingga tak urung beberapa Negara komunis pada awalnya seperti Cina
mengupayakan mobilisasi pertanian guna menyelamatkan perekonomian Negara mereka
disusul oleh industrialisasi yang masuk.
-0O0-
KESIMPULAN
Pasca Perang Dunia II, politik
internasional diwarnai konflik Perang Dingin antara super power
AS dan Uni Soviet, yang masing-masing mencari daerah pengaruh. Amerika Serikat
menebar ideologi kapitalisme – liberalisme dan bantuan ekonomi, sementara Uni
Soviet menebar bantuan senjata dan agitasi pembebasan. Konflik mereka berakar pada persepsi
dimana masing masing pihak merasa terancam. Posisi geografis dan trauma perang
menjadikan Uni Soviet selalu merasa tidak aman, untuk itu ia mencari daerah
pengaruh sebagai buffer zone, dan langkah Uni Soviet ini juga dipersepsi oleh
AS sebagai ancaman pula. Kedua pihak
saling curiga dan berkehendak menjadi superior. Persaingan ini makin
meningkat dengan terbentuknya NATO dan Pakta Warsawa serta perlombaan senjata,
sementara negara-negara dunia ketiga menjadi ajang perebutan mereka.
Memasuki
dasawarsa 1970-an, terjadi pergeseran dalam politik internasional. Pada satu
sisi AS ”merangkul” RRC untuk menghadapi Uni Soviet, dan pada sisi lain Uni
Soviet mengadakan hubungan dagang dan peredaan militer dengan AS. Sungguhpun
demikian konflik politik-militer kedua pihak pada sejumlah negara masih sangat
dominan.
SUMBER KEPUSTAKAAN
Gilpin,
Robert, 1987. The Political Economy of International Relations. New
Jersey: Princeton University Press.
Kanet,
Roger E. (ed.), 1982. Soviet Foreign Policy in the 1980s. New York:
Praeger Publisher.
Lihat, Lilik Salamah. 2013. Meninjau Kembali
Perang Dingin Komunis Vs Liberalis. Universitas Erlangga.e-Journal