Pandemi Covid-19 yang terjadi diseluruh
dunia tidak terkecuali di Indonesia membawa dampak yang tidak hanya bagi
kehidupan namun termasuk juga dalam hal kegiatan perbankan. Salah satunya terkait
menerjemahkan sejauh apa kondisi Covid-19 ini bisa dianggap sebagai force majeure yang dapat mempengaruhi
Kontrak Kredit (bagi debitur-kreditur). Permasalahan pertama yang muncul yakni
terkait covid-19 yang dikatakan sebagai kondisi force majeure, untuk menjawab persoalan ini perlu dirasa untuk
menguraikan terlebih dahulu unsur-unsur keadaan memaksa (force majeure) sebagaimana diatur dalam Pasal 1244 KUHPerdata,
Pasal 1245 KUHPerdata, Pasal 1444 KUHPerdata dan Pasal 1445 KUHPerdata :
1. Peristiwa yang tidak terduga
2. Tidak ada itikad buruk dari debitur
3. Keadaan tidak menghalangi debitur berprestasi
4. Kejadian tersebut tidak dapat dihindari oleh siapapun
5. Debitur tidak terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian
Berdasarkan unsur force majeur tersebut dapat diketahui bahwa pandemic covid-19 yang
terjadi saat ini, memang membuat debitur terhalang dalam menjalankan
prestasinya. Namun ada juga debitur yang tidak terhalang untuk melaksanakan
kewajiban kontraktualnya. Artinya, force
majeur dalam artian covid-19 dianggap bersifat relative. Pemenuhan prestasi
dari kontrak tersebut tidak mungkin dilakukan tetapi hanya untuk sementara
waktu. Terhalangnya kewajiban debitur tidak bersifat permanen, melainkan hanya
bersifat sementara waktu saja selama terjadinya covid-19. Kecuali memang
terjadi suatu kondisi yang dinamakan force
majeur yang absolut, sampai kapanpun tidak lagi memungkinkan suatu prestasi
dapat dilakukan lagi.
Kemudian, membahas terkait kekuatan hokum
Keputusan Presiden No.12 Tahun 2020, meskipun di Indonesia belum terdapat
pengaturan mengenai doktrin perubahan keadaan atau keadaan sulit, akan tetapi
renegosiasi kontrak disebabkan adanya wabah Covid-19 yang menjadi bencana
nasional tetap dapat dilakukan. Hal ini disebabkan adanya kewajiban para pihak
untuk melaksanakan perjanjian berdasarkan prinsip iktikad baik sebagaimana
diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata.
Terhadap kontrak yang dibuat sebelum
Covid-19 ini menyebar di Indonesia, sehingga terhalangannya prestasi untuk
dipenuhi. Apabila para pihak sudah mengatur klausul terkait wabah penyakit
pandemic atau wabah di dalam kontraknya, maka berlakulah ketentuan itu sebagai
undang-undang. Namun, jika klasulnya tidak mengatur force majeure, atau dalam klausul force majeure tidak menyisipkan kriteria dari asas rebus sic stantibus atau hardship maka kembali kepada ketentuan
undang-undang atau kepatutan.
Prinsip iktikad baik menghendaki adanya
pelaksanaan perjanjian secara layak dan patut (reasonableness and fairness). Adalah tidak layak dan patut apabila
perjanjian tetap dituntut pelaksanaannya dalam hal terjadi perubahan keadaan
atau keadaan sulit sehingga sangat memberatkan salah satu pihak dalam
perjanjian. Pihak yang dirugikan berhak menuntut penyesuaian syarat-syarat
kontrak atau perjanjian guna menyesuaikan dengan keadaan yang baru.
Dalam kaitannya dengan adanya kebijakan
pemerintah untuk menanggulangi wabah Covid-19, umumnya prestasi dalam
perjanjian masih mungkin untuk dilaksanakan sehingga tidak masuk dalam kategori
keadaan memaksa (force majeure).
Namun demikian, pelaksanaan perjanjian tidak patut untuk dituntut
pelaksanaannya tanpa adanya penyesuaian syarat-syarat perjanjian. Oleh
karenanya, para pihak perlu melakukan renegosiasi guna menyesuaikan
syarat-syarat perjanjian dengan keadaan yang baru sehingga tidak merugikan
salah satu pihak dalam perjanjian.
Kemudian, dengan pembayaran kredit misalnya,
perlu dilakukan penjadwalan ulang terhadap pihak-pihak yang terkena dampak dari
adanya pembatasan sosial bersekala besar yang disebabkan adanya bencana wabah
Covid-19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar